Stroberi
Bayangan Aditya kini jauh lebih panjang daripada tinggi tubuhnya. Bahkan sinar matahari berwarna oranye itu memperjelas bentuk bayangannya yang hitam. Namun ia tak ingin kehilangan suasana yang jarang bisa dinikmati di kotanya itu, yakni tatkala tak ada awan sedikit pun yang dapat menghalangi sang bintang terbesar untuk membagi hangatnya sinar-sinar terakhirnya yang tak lama lagi harus berpindah dari kota Aditya untuk menyemangati berjuta-juta makhluk di sisi lain bumi ini menyongsong hari baru.
Berminggu-minggu awan hitam selalu menutup kegiatan sehari-hari Aditya serta warga kota sekitarnya, dan Aditya merasa, sore yang indah dan langka itu akan membawa perubahan baru baginya. Perubahan yang ia harap bisa membuatnya ceria kembali setelah ia dan keluarganya berduka cita. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin seekor serangga hitam kecil bersayap bernama latin Aedes Aegypti itu bisa membuat si bungsu, Zahra, harus terkulai lemas di rumah sakit selama berhari-hari dan harus pergi meninggalkan Aditya dan keluarga yang mencintainya itu. Namun, tak seorang pun tahu bagaimana akhir hidup seseorang. Dan itulah kehendak Tuhan.
Gema azan tiba-tiba menyadarkan Aditya dari lamunannya. Ia bertekad untuk segera mengakhiri kesedihannya sendiri, dan membawa suasana hangat penuh keceriaan di tengah-tengah keluarganya kembali setelah sempat menghilang cukup lama. Segera ia menutup jendela kamarnya dan secara perlahan menuruni tangga, bergegas menuju masjid samping rumahnya.
Rumah Allah yang megah itu adalah salah satu tempat yang bisa membuatnya tenang. Disana, kerap kali ia mencurahkan segala masalahnya pada sang Khalik, dan ia selalu keluar dengan hati dan pikiran yang lebih baik. Benar-benar lebih baik dari sebelumnya.
Seusai salat maghrib, Aditya duduk bersila sambil menyandarkan bahunya pada dinding teras bagian selatan masjid. Hal itu benar-benar membuatnya nyaman. Sesosok pria berbaju koko merapikan kopiahnya sambil berjalan menghampiri Aditya. Ia kemudian duduk di sampingnya.
“Jangan sedih lagi, tak baik terlalu lama murung,” lelaki itu dengan penuh bijaksana memulai pembicaraannya. “Masih ada hari esok, dan kau tak bisa menyapanya dengan wajah murung setiap pagi, bukan?” sambung sang lelaki.
Aditya membalasnya dengan senyuman simpul.
“Kematian seseorang adalah rahasia Allah. Kita tak bisa menyangkal bahkan menolaknya,” nada pria itu tiba-tiba berubah, ada sesuatu yang berbeda, dan Aditya merasakan hal itu.
Lelaki itu kemudian berdiri, pergi meninggalkan Aditya menuju pondasi teras. Aditya memperhatikannya. Tak berapa lama, bapak yang penuh kesabaran itu kembali membawa sebuah polybag berisi suatu tumbuhan mungil. Tak tampak sama sekali buah tanaman itu, hanya daun-daun kecil yang bergoyang ketika pria itu membawanya dan kemudian menyerahkannya pada Aditya.
“Tolong jaga stroberi ini,” ujar sang lelaki.
Dengan penuh tanda tanya Aditya menerima tanaman itu.
“Tapi, kenapa…..” Aditya menjawab dengan ragu-ragu namun tak jadi meneruskan kalimatnya. Pria yang selama beberapa tahun ini tinggal di masjid, yang membuat rumah suci itu terpelihara dengan amat baik. Abdul Rosyid, itulah nama lengkapnya. Aditya sangat akrab dengannya. Dengan panggilan ‘paman’ ia menyapa lelaki yang sudah ia anggap sebagai ayah keduanya serta sebagai guru terbaik yang pernah ditemuinya itu. Namun ia melihat ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiran ustaznya itu lewat kedua matanya. Dan dengan segera, lelaki itu dapat menangkap apa yang dipikirkan oleh Aditya.
“Aku akan mengatakan sesuatu padamu,” ungkap sang penjaga masjid itu sambil membetulkan posisi duduknya, “dan setelah ini kau harus lebih dewasa.”
Aditya tersentak, tak biasanya sang guru berkata seperti itu. Namun ia mulai menyimaknya dengan baik.
Pria itu mulai bercerita, “Dulu, sebelum aku datang ke kota ini, aku adalah pria yang bahagia bersama keluarganya. Aku, istriku, dan putri tunggalku. Kami tinggal di sebuah desa kecil yang tentram. Selama enam tahun kami hidup dengan rukun dan bahagia, namun ketika aku kehilangan pekerjaan, semuanya mulai berantakan. Kami tidak bisa mencukupi kebutuhan kami dengan maksimal. Ternyata istriku tidak bisa bertahan dengan kondisi itu dan akhirnya……. kami bercerai….,” dengan nada yang berat, pria itu mengungkapkannya pada Aditya.
“Putriku kini usianya pasti sudah hampir dua belas tahun,” sambungnya. “Tak terasa waktu cepat sekali berlalu. Dan sudah bertahun-tahun aku tidak berjumpa dengannya. Beberapa hari yang lalu aku mendapat surat darinya. Entah bagaimana mereka bisa menemukanku. Ia bilang, ia akan datang kemari setelah mengikuti ujian akhir sekolahnya.”
Hati Aditya bergetar. Ia mungkin tak tahu bagaimana perasaan ustaznya itu, namun ia tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang sangat dicintai.
“Saat masih kecil, sering aku mengajaknya ke kebun stroberi dekat rumah. Ia sangat menyukai buah merah itu. Saat menerima surat itu, aku langsung menuju toko tanaman, membeli stroberi itu. Aku ingin merawatnya, dan aku ingin, buah pertamanya itu dapat dinikmati olehnya,” begitulah harapan sang ustaz.
“Sudah Paman balaskah surat itu?” tanya Aditya.
“Sayang sekali, ia tak menuliskan alamatnya dengan jelas,” sahut sang paman dengan sedih.
“Tolong rawat stroberi ini untuknya,” pinta lelaki bersarung itu sambil berdiri.
“Mmmm… tapi….,” Aditya ingin menjawab, namun pamannya dengan sigap memberi tanda untuk diam karena azan dari masjid lain telah berkumandang, dan pamannya yang juga muazin itu harus segera mengumandangkan azan, mengajak umat muslim sekitarnya untuk salat isya’ berjamaah, menunaikan kewajibannya.
Sebelum pergi meninggalkan Aditya yang masih terpaku, sang ustaz berkata, “Terima kasih, Aditya. Terima kasih atas segalanya”, ujar pria itu pada Aditya dengan lembut sambil tersenyum.
*********************
Jam beker Aditya berdering membangunkan pemiliknya. Derik jangkrik dengan sangat jelas masih terdengar, namun dengan tegas ia melawan kantuk yang mengajaknya kembali tidur. Ia terbangun, sorotan matanya tertuju pada tanaman stroberi yang diletakkannya di beranda jendela.
Stroberi, tanaman itu benar-benar ajaib baginya. Mengingatkannya pada berbagai peristiwa dan kenangan dalam hidupnya. Tanaman kerdil itu adalah tanaman yang sangat disukai oleh adiknya, Zahra. Berbagai pernak-pernik milik adiknya adalah stroberi. Buah yang disukainya pun juga stroberi. Apapun tentang stroberi dia suka. Seandainya Zahra masih ada, dengan senang hati ia akan memberikan tanaman itu pada adiknya. Ia yakin sang bungsu pecinta stroberi itu akan merawatnya lebih baik, lebih baik dari kakaknya. Namun Aditya berpikir, tak mungkin dengan mudah ia memberikan tanaman amanat itu pada adiknya. Stroberi itu adalah amanat baginya. Amanat dari sang paman, yang dua hari lalu berpulang ke rahmatullah. Tepat semalam setelah Aditya mendapatkan stroberi itu, pada pagi yang masih buta, guru terbaiknya itu menghembuskan nafas terakhir.
Tak seorangpun dari keluarga Pak Abdul Rosyid yang bisa dihubungi. Tak ada alamat pasti. Jenazahnya akhirnya dikuburkan di makam umum di kota itu.
Aditya benar-benar tak menyangka malam itu adalah malam terakhir ia bisa bertemu dengan sang paman. Ia kini harus menjaga amanat yang diberikan pamannya, melalui pohon mungil yang belum berbuah itu.
Setiap hari, ia selalu merawat tanaman stroberi itu dengan baik. Browsing di internet, membeli majalah tanaman, hingga datang ke ahli tanaman pun dilakukannya untuk mencari tahu mengenai cara yang baik merawat stroberi itu.
Usahanya tak sia-sia. Kini tanaman itu telah memunculkan sebuah benda mungil berwana putih kemerahan yang kelak akan memerah dan itulah buah pertamanya.
*********************
Beberapa hari kemudian buah itu semakin menampakkan dirinya. Aldo, adik pertama Aditya dengan sangat cermat memperhatikan buah itu. Buah merah itu berbentuk bulat agak lonjong dan bagian kulitnya ditutupi oleh beberapa biji berwarna putih.
Dengan penuh takjub, Aldo yang masih delapan tahun itu menjulurkan tangannya ke buah merah kecil itu. Jari-jarinya yang mungil meraba kulit yang kasar karena sebagian tertutupi oleh biji. Tak pernah ia melihat buah stroberi secara langsung sebelumnya. Dan kini, ia memiliki kesempatan untuk melihatnya secara langsung, tepat duapuluh senti di depan matanya. Dan ia juga mempunyai kesempatan yang sangat besar, yakni untuk memegang, memetik, dan memasukkan buah yang pastinya segar dan alami itu ke dalam mulutnya. Buah yang dirawat oleh kakaknya dengan susah payah.
Satu gerakan kecil lagi, buah stroberi yang merah merona itu akan putus dengan temannya, atau mungkin pacarnya, si tangkai, dan Aldo dengan wajah gembira akan dapat segera merasakan buah yang hanya bisa dilihatnya dari televisi atau gambar-gambar di buku itu. Namun sebelum semua itu terjadi, sang kakak, Aditya telah berhasil mengangkat pot stroberi itu dan menyingkirkan tangan Aldo.
Seketika Aldo terkejut, matanya melongo menatap wajah kakaknya yang terlihat tak bersahabat itu. Dia diam menatap kakaknya, kemudian dengan memasang wajah tanpa dosa ia tersenyum, meringis pada kakaknya.
Sang kakak, yang memiliki rasa sayang berlebih pada anak kecil itu rupanya, tak dapat menunjukkan ekspresi marahnya. Wajah kecil mungil penuh rasa aingin tahu itu telah membuat bisikan syaitan pada Aditya memudar, menghilang. Aditya hanya bisa diam, lalu tersenyum datar.
“Dasar anak kecil jail,” celetuk Aditya sambil menyelentikkan jarinya dengan sangat lembut pada telinga Aldo.
Karena merasa risih, Aldo tertawa, kemudian berlari meninggalkan kakaknya.
“Maaf, Kakak!” teriak Aldo sambil berlari keluar kamar. Hingga jauh, Aldo masih saja tertawa nakal. Kakaknya hanya bisa maklum. Namun tawa nakal adiknya itu membuatnya tersenyum juga.
*********************
Sering Aditya tersenyum apabila ia teringat akan kelakuan iseng adiknya tiga hari lalu, yang mencoba merengkuh buah merah yang masih segar kala itu. Namun kini, buah itu merubah warnanya yang semula dapat memikat siapapaun yang melihat untuk mencicipinya itu, menjadi merah tua pekat dan kulitnya pun mulai keriput. Tampaknya ia harus berdandan agar bisa menarik perhatian lagi. Namun apa yang bisa dilakukan oleh buah kecil itu, sang amanat dari seorang pengumandang azan pada seorang remaja lelaki berusia enam belas tahun.
Aditya berusaha sekuat tenaga menjaga amanat itu. Ia juga berharap keinginan terakhir pamannya itu dapat terlaksana, memberikan buah pertama tanaman berdaun lebar itu pada putri semata wayang pamannya.
Setiap pulang sekolah, Aditya selalu bergegas langsung menuju sang ibu, menanyakan adakah seseorang yang mencarinya. Namun jawaban yang sama dan mengecewakan Adityalah yang selalu diterima. Ia bahkan berpesan pada semua orang di sekitar tempat tinggalnya untuk memberitahu pada orang yang mencari ustaznya, Abdul Rosyid, untuk menuju rumahnya. Ada hal penting yang harus disampaikan. Namun tak seorang pun yang bertanya.
Sore itu, hari ketujuh sesudah kejadian Aldo. Buah itu benar-benar menunjukkan tanda sekaratnya. Dengan wajah pucat tanpa ekspresi, Aditya memperhatikan stroberi itu yang seolah-olah mengucapkan kata perpisahan pahit padanya. Mata Aldo memerah. Segera ia memasang matanya untuk melihat ke jalanan, menembus jendela kamarnya. Ia melirik ke ke kanan dan ke kiri, berharap seorang gasis kecil yang baru tamat Sekolah Dasar dari ujung jalan, turun dari kendaraan, atau dari arah masjid berjalan menuju pintu rumahnya, atau paling tdak berhenti di depan pagar rumahnya, mengatakan bahwa ialah yang ditunggunya selama ini, putri kecil sang penjaga masjid. Namun rupanya mimpi itu tak akan terwujud. Hingga bintang-bintang mulai menampakkkan sinarnya yang kerlap-kerlip menghiasi langit yang gelap, gadis yang ditunggu-tunggu belum juga menunjukkan tanda-tandanya untuk muncul. Dan esok ia benar-benar harus berpisah dari buah yang selama ini dijaganya itu.
*********************
Tanaman stroberi itu kini hanya terlihat tangkai dan daunnya saja. Sang puteri yang menghiasinya kini telah menghilang, setelah berhari-hari berjuang hidup hanya untuk bertemu seseorang yang selama ini dinanti oleh sang perawat, yakni seorang gadis kecil yang sebulan lalu mengirim surat pada sang ayah, berjanji akan datang setelah bertahun-tahun tak bertemu. Ia berjanji, sesaat setelah ujiannya selesai, ia akan datang menemui sang ayah, menatap wajahnya, menyentuhnya, memeluknya. Meski ujian telah selesai dua minggu yang lalu, tetapi ia tak kunjung datang. Kalaupun ia datang, ia harus menerima sesuatu yang pahit pada akhirnya.
Aditya berpikir, apakah gadis kecil itu sudah tahu akan hal menyakitkan yang akan diterimanya ketika ia menemui sang ayah, hingga ia membatalkan kunjungannya. Namun Aditya berjanji, ia akan merawat tanaman amanat itu dengan sepenuh hati, hingga menumbuhkan buahnya lagi, yang diharapkan dapat dinikmati oleh si gadis kecil. Entah kapan itu terjadi, tapi Aditya masih berharap, sang puteri kecil penjaga masjid akan datang dan menikmati buah stroberi itu.
Tiba-tiba semua pikiran Aditya itu terganggu oleh suara sang bunda, yang memanggil namanya sambil membuka pintu kamar Aditya, mengatakan ada seorang tamu yang mencarinya. Dengan terpaksa, ia meninggalkan harapannya itu. Harapan yang berhasil dipertahankannya selama beminggu-minggu dan ia bertekad akan terus mempertahankannya. Dengan langkah gontai ia berjalan menuju ruang tamu. Seseorang telah menantinya.
0 comments