Bang Ilham
“Oh, my God! Turunin gue.... SEKARANG!!” Aku berteriak kencang mengalahkan deru motor yang melaju kencang berlawanan arah dengan kami.
“Gila ya tuh motor!
Di jalanan terjal kayak gini masih sempetnya melaju kencang!” Abangku Ilham
berkomentar tak memedulikan aku yang masih tegang diboncengnya dengan sepeda
menuruni jalanan yang berkerikil di sana sini.
“Elu kali, Bang, yang
gila! Tuh sepeda motor kan nanjak. Lah, kita tuh sekarang lagi turun dan elu
nggak ngerem sama seka—“
BRUUKK.
“--li...!” Aku
meringis kesakitan memegang sikuku yang lecet. Benar saja apa yang kubilang.
Kalau Bang Ilham lebih hati-hati, nggak bakal kayak gini jadinya. Jatuh ke
pinggir parit di samping kebun teh ini.
Aku melirik Bang
Ilham yang tergeletak tak jauh dari tempatku.
“Bang! Bang Ilham!
Bangun dong! Tolongin gue, sakit nih!” Aku berdiri sambil merapikan bajuku yang
kotor terkena tanah basah karena kemarin baru saja hujan.
“Pokoknya,
sesampainya kita di penginapan, elu utang buat manggilin tukang pijit buat
gue.” Aku masih saja menggerutu sambil berjalan ke arah Bang Ilham.
“Bang, bangun dong!
Nggak usah sok pingsan segala deh! Gue udah bosen lu kibulin mulu.” Aku
menggoyang-goyangkan punggung Ilham yang masih tengkurap tak bergerak. Oh, gue
nggak boleh panik, Ilham nggak boleh menang kali ini. Udah berkali-kali Bang
Ilham berhasil ngibulin aku dengan beragam cara yang konon didapatkannya dari
buku 1001 Cara Profesional Menjahili Anak Kecil.
Hei, aku bukan anak
kecil lagi. Aku udah tujuh belas tahun, tidak lebih empat tahun lebih muda dari
Bang Ilham. Catat itu.
Sayangnya, Bang Ilham
masih saja belum bergerak. Sudah sebelas kali aku memanggil namanya dengan keras,
ia belum juga bangun. Padahal ia pernah berkata padaku, “Panggil namaku tiga
kali, aku akan segera berada di sampingmu.” meski aku tahu pada saat itu ia
hanya menggodaku. Aku mulai panik.
Aku pun mulai
berpikiran macam-macam. Sudah cukup kehilangan dua orang tuaku, aku tak ingin
menjalani hidup ini sendirian, tanpa Bang Ilham. Semenjak papa dan mama pergi,
Bang Ilham harus merangkap perannya sebagai kakak sekaligus orang tua. Tentu
saja ia tak bisa sepenuhnya menggantikan mereka, tapi aku tahu ia sudah susah
payah membuatku tetap hidup, tetap bisa tersenyum sampai sebelum ia mulai
memboncengku naik sepeda tadi.
Tak terasa air mataku
pun meleleh. Pipiku sudah basah.
“Bang... jangan
tinggalin gue...” Aku drama banget.
“Kenapa? Elu takut
nggak bakalan dipijitin sama Mbok Minah?” Tiba-tiba Ilham membalikkan badannya,
tersenyum padaku dengan wajahnya yang jahil, matanya yang hitam, dan –auranya
yang seksi, itu kata temen-temenku.
Sial. “Bukan itu. Gue
takut elu ninggalin banyak utang dan gue harus bekerja multitasking jadi pelayan saat siang, pencuci mobil saat libur, dan
begadang nyuci piring saat malam.”
“Kalo piringnya
piring hitam nggak papa dong! Elu kan bisa nyuci sambil dengerin para Blueband
Korea itu!”
“Boyband
Bang!” Aku memprotes. Kami pun tertawa keras hingga membuat para pemetik teh
saling memandang kami dengan tatapan yang, tampaknya terganggu.
“Gue mau ngomong.”
Sela Bang Ilham di saat aku masih takjub memandang hamparan kebun teh di
hadapan kami.
“Ngomong aja Bang, gratis
kok!” Aku menyelutuk.
“Gimana kalo tahun
ini gue mau ambil semester di...” Ilham berkata dengan sangat hati-hati hingga
membuatku menoleh padanya. “Oxford?”
“Sumpah lu? Udah deh,
kalo bohong tuh jangan jauh-jauh. Bilang aja di UI, di ITB, di mana gitu. Jauh
amat!” Aku menjawabnya dengan santai.
“Gue dapet beasiswa.
Tapi, kayaknya nggak jadi gue ambil kok!” Ilham tersenyum padaku.
“Elu yakin? Kenapa?
Jangan bilang karena gue.” Aku kaget, tapi aku tahu kapan Ilham berkata serius.
“Pede
banget lo!” Ilham menyangkalnya. Ia tertawa kemudian mengacak-acak rambutku.
Aku tahu, ia berbohong untuk jawaban terakhir ini.
Setelah kembali dari
Puncak seminggu yang lalu, pikiranku mengelana dan sering tak fokus. Aku terus
saja memikirkan ucapan Bang Ilham mengenai beasiswanya. Sudah pukul lima sore
dan Bang Ilham belum juga pulang. Kegiatannya di kampus memang harus dicereweti
kali ini.
Aku pun memutuskan untuk
bersih-bersih. Ketika membersihkan meja belajar Bang Ilham, aku tak sengaja
menemukan sebuah amplop putih. Tanpa berpikir lebih jauh, aku pun membukanya.
Aku membacanya dengan wajah tak percaya. Bang Ilham benar-benar mendapatkan
beasiswa untuk belajar ke luar negeri selama dua semester. Aku yakin Bang Ilham
sudah melalui tahap yang panjang untuk mendapatkan salah satu impiannya ini.
Aku hanya tak tahu. Benar-benar adik yang bodoh.
Kubaca
lagi surat itu dengan pelan. Oh, tidak! Deadlinenya tak lama lagi. Jika Bang
Ilham serius untuk mengambilnya, maka ia pasti sudah berbicara padaku. Melihat
tingkahnya selama ini, aku tahu Bang Ilham akan melepaskannya, tapi aku tak
akan membiarkan hal itu terjadi. Tidak demi apa pun. Tidak juga demi aku.
Meski aku tahu aku
akan hidup sendirian, aku berusaha menguatkan diri. Apa pula bedanya dengan
tahun-tahun sebelumnya? Aku tetap saja bersikukuh menguatkan Bang Ilham.
“Udah deh, lo nggak
usah pake acara mikirin gue segala! Elu tau kan temen gue tuh banyak,
soleh-solehah pula!” Aku menggigit bibir. Mencoba menguatkan hatiku yang rapuh.
“Lo bakal sendirian.
Bentar lagi puasa. Lihat deh! Tinggal satu, dua...” Ilham menunjuki angka-angka
di kalender. “Lima belas hari lagi!”
“Cuma setahun kan!
Yakin deh, gue bisa kok! Malahan gue yang khawatir sama elu! Di sana tuh ada
empat musim, masyarakat muslim jadi minoritas, gimana sama puasa elu!” Aku
membela diri.
“Tuh, kan! Gue
khawatir kalo elu nanti di sini sendirian khawatirin gue sampe sakit.” Ilham
membalas sambil mencibir.
Aku salah ngomong.
“Oke deh, gini aja ya, inget kata-kata gue. Orang sukses itu bakal meninggalkan
zona aman dan nyamannya. Anggep aja elu hidup di sini tuh di zona aman dan
nyaman, karena ada gue. Hehe. Begitu juga sebaliknya, gue di sini hidup di zona
aman dan nyaman, karena ada elu. Karena kita keluarga. Zona aman dan nyaman
kita sekarang itu, keluarga! Elu tinggal pilih.” Aku berharap tak pernah
memberinya pilihan, tapi aku tahu aku harus.
Bang
Ilham terdiam. Keputusan ada di tangannya. Ia tampak benar-benar kacau. Dan
galau.
Dua hari lagi udah
mulai shalat tarawih. Aku seneng Bang Ilham memutuskannya.
Aku tak akan kesepian.
Meski pilihan yang kuberikan padanya bagai buah simalakama, tak apalah, aku
benar-benar seperti orang sok bijak saat itu. Menyaingi Mario Teguh dan bakalan
menjadi the next Maura Teguh.
Kulirik seorang cewek
yang duduk di sampingku. Ia tertawa manis, manis sekali, sambil
menggoyang-goyangkan kartu pos berwarna pink yang kuterima pagi ini. Aku tak
tahu semenjak kapan sahabatku ini mulai gila sama abangku. Kartu pos berwarna pink dari Oxford.
0 comments