Resensi Novel : Fly to The Sky
Pertama kali
bertemu Radit, Edyta dibuatnya terpesona. Ia berkali-kali takjub setiap kali
memandang Radit, dan berkali-kali juga mengeluh pada sahabat baiknya, Syiana,
mengapa ia tak memperkenalkan Radit padanya semenjak dulu. Status Edyta dan
Radit yang sama-sama jomblo membuka peluang bagi Edyta untuk lepas dari
“perjodohan” yang direncanakan oleh kakak-kakaknya. Yah, semenjak Edyta
menjomblo dan mengingat umurnya yang dainggap “sudah tua” oleh Ferro dan Ilham,
kakak-kakak tersayangnya kerap kali menjadwalkan blind date dengan
teman-temannya. Namun hasilnya selalu nol.
Suatu hari,
setelah “dikhianati” oleh pasangan blind date rancangan kakaknya -si cowok
bernama Bara yang tak jadi datang setelah Edyta menunggunya selama berjam-jam-,
dengan wajah super duper bete dan perut keroncongan, Edyta pun memutuskan untuk
pergi ke sebuah restoran Jawa favoritnya, Candra Kirana. Namun, sesampainya di
sana ia harus menelan kenyataan pahit : semua tempat duduk penuh. Maka, ia pun
harus menunggu hingga tersedia tempat duduk yang kosong. Beberapa waktu
kemudian, ia melihat sebuah meja kosong. Buru-buru ia menuju ke sana dan ketika
ia duduk, seorang lelaki juga sedang menarik kursi yang berada di sampingnya,
di meja yang sama. Ketika sang pelayan menjelaskan duduk perkaranya, bahwa
lelaki itulah yang sudah terlebih dulu memesan tempat, Edyta terpakasa
berbohong karena ia sudah tak dapat menahan lapar lagi. Untunglah si cowok itu
lebih memilih mengalah daripada harus berdebat dengan si cewek yang dilihatnya
sedang jutek tersebut. Toh, ia masih bisa duduk satu meja dengannya.
Begitulah
kisah pertemuan dua insan ini. Dimulai dari sebuah meja di restoran Jawa yang
kemudian berlanjut dengan kisah Edyta yang harus kelabakan mengurusi ban
mobilnya yang kempes, yang kemudian berlanjut lagi dengan bantuan si cowok tadi
yang dikenalnya dengan nama Ardian. Edyta yang merasa bersalah dan
berterimakasih itu pun akhirnya mulai berkenalan dengan Ardian lewat BBM. Sejak
saat itulah ia merasakan sesuatu yang lain ketika berkomunikasi dengan Ardian,
Ardian membuat Edyta merasa nyaman. Tidak seperti dengan Radit kemudian. Namun,
hubungan lewat BBM itu terputus ketika BB Edyta jatuh ke lantai, dan membuat
alat komunikasi kesayangannya itu hancur total. Sejak saat itu pulalah Edyta
mengalami berbagai kisah seru dan kocak dalam pencarian Ardian. Tak punya
identitas lain selain satu nama itu tak membuat Edyta putus asa, karena lewat
kisah yang dialaminya itulah ia bisa menemukan fakta tentang orang-orang
terdekatnya.
Di sisi lain,
Ardian pun juga bingung ketika ia putus kontak dengan Edyta. Hal serupa yang
dialami Ardian membuat ia kalang kabut mencari Edyta di tengah-tengah
kesibukannya sebagai seorang pilot. Meski berteman dekat dengan salah satu
koleganya, seorang pramugari baru di maskapainya, ia ternyata tak bisa
melupakan Edyta. Sosok yang baru dikenalnya beberapa jam di sebuah restoran dan
beberapa hari lewat BBM. Hal ini jugalah yang mengantar Ardian mengalami
berbagai kisah seru untuk menemukan Edyta.
Tak henti-hentinya
saya tersenyum-senyum sendiri ketika membaca novel ini. Apalagi di bagian awal,
tentang Edyta. Gaya penulisan Mbak Nina Ardianti yang gaul namun dialognya
tidak membosankan membuat saya betah baca Edyta dan tak ingin kisah Edyta hanya
berakhir di situ. Dengan selingan humor, saya tak urung untuk tertawa dan
terkagum-kagum pada sifat Edyta yang supel dan selalu disayangi oleh banyak
orang.
Mungkin saja
saya yang memang kurang belajar, ada beberapa istilah-istilah yang kurang saya
pahami. Bagi orang awam, mungkin mereka
akan kesulitan mencerna maksudnya. But overall, keren kok.
So, just read this novel!!! It’s
cool guys!
p.s: ...dan dari novel inilah
saya mulai menyukai lagu ini:
...going back to the corner when
I first saw you
Gonna camp in my sleeping back
i’m not gonna move...
-The Man Who Can’t Be
Moved, The Scrypts.
0 comments