Review Novel : Bangkok the Journal

by - July 21, 2013


Tentu saja aku tidak membeli novel ini hanya sekadar warna covernya ungu. Tidak. Aku bahkan baru sadar kalau warnanya ungu setelah aku membacanya. Alasannya adalah karena aku membaca begitu banyak mention yang ditujukan kepada penulis novel ini, Mas Moemoe Rizal, yang mengungkapkan bahwa novelnya bagus banget. Selain itu, salah satu temanya yang mengangkat tentang persaudaraan kakak dan adik semakin membuatku penasaran dan segera ingin membelinya. Sebagai salah satu referensi di masa mendatang, insyaAllah. Alhasil, aku menghadiahi diriku sendiri pada hari ulang tahunku kemarin dengan novel ini. Itu masih terlihat normal, bukan?

Kisahnya diawali dengan diperkenalkannya tokoh utama, Edvan, seorang arsitek yang baru saja berhasil membangun sebuah bangunan megah yang meberinya banyak honor di Singapura. Ketika malam perayaan atas kesuksesannya itu, ia mendapat kabar dari adik lelakinya, Edvin, bahwa Ibunya meninggal dunia. Edvan, yang sudah tak bertemu dengan ibunya selama sepuluh tahun akibat egonya di masa lalu, akhirnya pulang ke Indonesia, meski ketika sampai ia hanya bisa melihat jenazah ibunya di pemakaman.

Selang beberapa hari setelah pemakaman ibunya, Edvan bertemu dengan adiknya, Edvin, dalam ‘wujud’ yang benar-benar berbeda. Adiknya itu telah berubah nama menjadi Edvina, menjadi seorang lay dee boy (red: waria). Dengan penampilan yang benar-benar mirip perempuan, awalnya Edvan benar-benar tak percaya akan kenyataan itu, ditambah lagi dengan penampilan dan gaya Edvina yang mirip sekali dengan ibu mereka.

Setelah berbicara beberapa saat, Edvina mengungkapkan tujuannya untuk bertemu kakaknya itu, bahwa ia sedang menjalankan amanah ibu untuk memberi Edvan warisan, berupa jurnal. Edvan harus mengumpulkan seluruh jurnal yang ibu mereka buat dan sekarang tersebar di Bangkok, dengan petunjuk di setiap jurnal sesudahnya. Awalnya Edvan menganggap hal itu konyol, apalagi dengan keadaan adiknya sekarang ini, salah satu keadaan yang membuat Edvan pergi meninggalkan ibu dan adiknya, tak pernah mengabari dan pulang ke Indonesia.

Namun, akhirnya Edvan berangkat juga ke Bangkok, mencari harata karun yang dianggapnya impossible to find. Di Bangkok ia akhirnya bertemu dengan Charm, seorang guide yang membantunya mencari jurnal. Di sana ia juga bersahabat dengan Max, adik Charm, yang berhasil mengubah cara pandangnya. Di Bangkok juga ia menemukan berbagai kenangan, dan tentunya, yang akan kalian baca sendiri di buku ini.

Sebenarnya, ada cerita yang sudah bisa ditebak semenjak awal di buku ini. Di saat ketika Charm terus-terusan meminum multivitamin. Meski berhasil tertipu di bagian tengah, namun akhirnya dugaan saya benar. Seharusnya ada cara yang bisa dibuat agar situasi seperti ini tidak dapat dengan mudah ditebak oleh pemabaca.

Di sisi lain, saya suka sekali dengan tema persaudaraannya. Bahkan, saya harus pindah tempat ke kamar untuk bersiap-siap meneteskan air mata. Oh, benar-benar sangat menyentuh! Mas Moemoe berhasil membuat saya sedih dan membuat pandangan mataku kabur. Congrats! J

Selain itu, adegan setiap kali Edvan bersama Max juga berhasil membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Membuat saya harus menutup novel ini saat registrasi karena saya tak mau menjadi pusat perhatian, hehehe.

Let’s see bagian mana saja yang paling saya suka :

...
I love Monyakul. He the best brother in the world.” Kanok memeluk Monyakul, yang sedikit pun tak keberatan. “He protect me from bad boys.
Why did he do that?”
Because we family!” seru Kanok. “Family help Family. If bad boys naughty to me, Monyakul will shoo shoo away. If Monyakul is hungry, I will cook Moo Tad. It is favorite for Monyaku.
Family help family. Kalimat yang simpel, tapi...
...

...
Aku pernah tanya sama Ibu, ‘Kenapa Ibu terus-menerus doain Kakak? Kakak mungkin nggak ingat Ibu sekarang.’ Ibu jawab, ‘Seorang Ibu nggak butuh anaknya inget kalau mau ngedoain. Yang Ibu harepin bukan kakakmu ingat sama Ibu, tetapi kakakmu tetap baik-baik aja.’ Tapi waktu itu aku masih kesal sama Kakak, jadi aku mendebat ibu. ‘Tapi, kan, Kakak mungkin udah nggak nganggap kita sebagai keluarga.’
‘Yang nganggap kita bukan keluarga, mungkin kakakmu. Ibu sih masih anggap kakakmu keluarga kita. Darah Ibu mengalir di tubuhnya. Nggak ada satu pengadilan mana pun yang bisa memutuskan hubungan darah antara ibu dan anak.’
‘Tapi Kakak bahkan nggak pernah nelepon kita pas dia lulus sarjana teknik arsitektur itu. Dia bahkan nggak mau noleh ke belakang pas kita ngumpet-ngumpet ngehadirin wisudanya.’
‘Inget ke poin utama, Edvin. Yang Ibu mau cuma kakakmu diberi kesehatan, kelancaran, dan kesuksesan, seperti yang dia pertaruhkan waktu ninggalin kita di sini. Titik. Mendoakan orang nggak boleh ada ‘tapi’-nya.’
...

Yeah, itu menurutku. Gimana menurut kalian? Tertarik untuk membaca??

Zuhrufi. Korp kun ka.

You May Also Like

2 comments

  1. ampun deh mbk zuh..... kok gak tentang cinta yaa... heheheeh

    oiaa... kadang aku juga perlu niru kamu deh, beli hadiah for me in my birthday :D

    ReplyDelete
  2. eh, ada love story nya juga lho... cuman nggak aku critain di review.
    Haha, idenya keren kan?? :D

    ReplyDelete