Review Novel : Bangkok the Journal
Tentu saja
aku tidak membeli novel ini hanya sekadar warna covernya ungu. Tidak. Aku
bahkan baru sadar kalau warnanya ungu setelah aku membacanya. Alasannya adalah
karena aku membaca begitu banyak mention yang ditujukan kepada penulis novel
ini, Mas Moemoe Rizal, yang mengungkapkan bahwa novelnya bagus banget. Selain
itu, salah satu temanya yang mengangkat tentang persaudaraan kakak dan adik
semakin membuatku penasaran dan segera ingin membelinya. Sebagai salah satu
referensi di masa mendatang, insyaAllah. Alhasil, aku menghadiahi diriku
sendiri pada hari ulang tahunku kemarin dengan novel ini. Itu masih terlihat
normal, bukan?
Kisahnya
diawali dengan diperkenalkannya tokoh utama, Edvan, seorang arsitek yang baru
saja berhasil membangun sebuah bangunan megah yang meberinya banyak honor di
Singapura. Ketika malam perayaan atas kesuksesannya itu, ia mendapat kabar dari
adik lelakinya, Edvin, bahwa Ibunya meninggal dunia. Edvan, yang sudah tak
bertemu dengan ibunya selama sepuluh tahun akibat egonya di masa lalu, akhirnya
pulang ke Indonesia, meski ketika sampai ia hanya bisa melihat jenazah ibunya
di pemakaman.
Selang
beberapa hari setelah pemakaman ibunya, Edvan bertemu dengan adiknya, Edvin,
dalam ‘wujud’ yang benar-benar berbeda. Adiknya itu telah berubah nama menjadi
Edvina, menjadi seorang lay dee boy
(red: waria). Dengan penampilan yang benar-benar mirip perempuan, awalnya Edvan
benar-benar tak percaya akan kenyataan itu, ditambah lagi dengan penampilan dan
gaya Edvina yang mirip sekali dengan ibu mereka.
Setelah
berbicara beberapa saat, Edvina mengungkapkan tujuannya untuk bertemu kakaknya
itu, bahwa ia sedang menjalankan amanah ibu untuk memberi Edvan warisan, berupa
jurnal. Edvan harus mengumpulkan seluruh jurnal yang ibu mereka buat dan sekarang
tersebar di Bangkok, dengan petunjuk di setiap jurnal sesudahnya. Awalnya Edvan
menganggap hal itu konyol, apalagi dengan keadaan adiknya sekarang ini, salah satu
keadaan yang membuat Edvan pergi meninggalkan ibu dan adiknya, tak pernah
mengabari dan pulang ke Indonesia.
Namun,
akhirnya Edvan berangkat juga ke Bangkok, mencari harata karun yang dianggapnya
impossible to find. Di Bangkok ia
akhirnya bertemu dengan Charm, seorang guide yang membantunya mencari jurnal.
Di sana ia juga bersahabat dengan Max, adik Charm, yang berhasil mengubah cara
pandangnya. Di Bangkok juga ia menemukan berbagai kenangan, dan tentunya, yang
akan kalian baca sendiri di buku ini.
Sebenarnya,
ada cerita yang sudah bisa ditebak semenjak awal di buku ini. Di saat ketika
Charm terus-terusan meminum multivitamin. Meski berhasil tertipu di bagian
tengah, namun akhirnya dugaan saya benar. Seharusnya ada cara yang bisa dibuat
agar situasi seperti ini tidak dapat dengan mudah ditebak oleh pemabaca.
Di sisi lain,
saya suka sekali dengan tema persaudaraannya. Bahkan, saya harus pindah tempat
ke kamar untuk bersiap-siap meneteskan air mata. Oh, benar-benar sangat
menyentuh! Mas Moemoe berhasil membuat saya sedih dan membuat pandangan mataku
kabur. Congrats! J
Selain itu,
adegan setiap kali Edvan bersama Max juga berhasil membuat saya
tersenyum-senyum sendiri. Membuat saya harus menutup novel ini saat registrasi
karena saya tak mau menjadi pusat perhatian, hehehe.
Let’s see bagian mana saja yang paling
saya suka :
...
“I love Monyakul. He the best brother in the world.” Kanok memeluk
Monyakul, yang sedikit pun tak keberatan. “He
protect me from bad boys.”
“Why did he do that?”
“Because we family!” seru Kanok. “Family help Family. If bad boys naughty to me, Monyakul will shoo shoo
away. If Monyakul is hungry, I will cook Moo Tad. It is favorite for Monyaku.”
Family help family.
Kalimat yang simpel, tapi...
...
...
Aku pernah tanya sama
Ibu, ‘Kenapa Ibu terus-menerus doain Kakak? Kakak mungkin nggak ingat Ibu
sekarang.’ Ibu jawab, ‘Seorang Ibu nggak butuh anaknya inget kalau mau
ngedoain. Yang Ibu harepin bukan kakakmu ingat sama Ibu, tetapi kakakmu tetap
baik-baik aja.’ Tapi waktu itu aku masih kesal sama Kakak, jadi aku mendebat
ibu. ‘Tapi, kan, Kakak mungkin udah nggak nganggap kita sebagai keluarga.’
‘Yang nganggap kita
bukan keluarga, mungkin kakakmu. Ibu sih masih anggap kakakmu keluarga kita.
Darah Ibu mengalir di tubuhnya. Nggak ada satu pengadilan mana pun yang bisa
memutuskan hubungan darah antara ibu dan anak.’
‘Tapi Kakak bahkan
nggak pernah nelepon kita pas dia lulus sarjana teknik arsitektur itu. Dia
bahkan nggak mau noleh ke belakang pas kita ngumpet-ngumpet ngehadirin
wisudanya.’
‘Inget ke poin utama,
Edvin. Yang Ibu mau cuma kakakmu diberi kesehatan, kelancaran, dan kesuksesan,
seperti yang dia pertaruhkan waktu ninggalin kita di sini. Titik. Mendoakan
orang nggak boleh ada ‘tapi’-nya.’
...
Yeah, itu
menurutku. Gimana menurut kalian? Tertarik untuk membaca??
Zuhrufi. Korp kun ka.
2 comments
ampun deh mbk zuh..... kok gak tentang cinta yaa... heheheeh
ReplyDeleteoiaa... kadang aku juga perlu niru kamu deh, beli hadiah for me in my birthday :D
eh, ada love story nya juga lho... cuman nggak aku critain di review.
ReplyDeleteHaha, idenya keren kan?? :D