facebook google twitter tumblr instagram linkedin
  • Home
  • Travel
  • Life Style
    • Category
    • Category
    • Category
  • About
  • Contact
  • Download

az-zuhruf

some stories and thoughts


First of all, saya bener-bener minta maaf sama mbak Luluk Indryas Mufida dan Iva Firdayanti karena nggak bisa memenuhi harapan kita buat nonton bareng film ini. Maaf yaa... L Yang kedua, saya sangat berterima kasih sekali kepada teman-temanku Flo, Widi, Nuril, Mega, Lia, dan Priska yang sudah mau menemani saya buat nonton. Maaf banget kalau aku kesannya ‘maksa’, bukannya ‘ngajak’ ketika mau nonton ini. Maaf juga karena telat dateng ke bioskop, sorry sorry sorry... :3

Tapi... kalian puas, kan, nonton ini?? Atau mungkin, sedikit kecewa sama seperti saya? Well, I really hope that we enjoyed and got the point of this movie guys...

Nonton film ini, gimana yaa... semakin membuat saya dan orang-orang yang punya mimpi buat keluar negeri tambah pengen keluar negeri dan membuat orang-orang yang udah keluar negeri pengen balik ke sana, gitu nggak sih?? Errr...

Kisahnya diawali ketika Hanum dan Rangga sudah berada di Eropa. Untuk mengusir kebosanan Hanum yang sendirian di apartemen tatkala ditinggal Rangga untuk kuliah, Hanum akhirnya mengikuti les bahasa Jerman. Pada saat les itu, ia bertemu dengan Fatma Pasha yang kemudian membawanya menemukan titik-titik cahaya di benua itu. Bersama Fatma dan Ayse (putri Fatma), ia pun mulai menjelajahi berbagai tempat di Eropa. Bersama mereka, Hanum juga belajar bagaimana sikap untuk menjadi agen muslim yang baik, khususnya di negara yang muslimnya menjadi minoritas.

Kisahnya sih, nggak banyak melenceng dari buku, ehm, well, sebenernya sih saya aja yang lupa bagaimana detailnya di novel, hehe. Maklumlah, sudah lebih dari satu tahun yang lalu saya membacanya. Tapi yang jelas, ada beberapa hal yang pengen banget saya komentarin setelah saya menonton film ini.

Dari segi positif, two thumbs up deh karena you know, settingnya itu di luar negeri semua woy! Serasa jalan-jalan di luar negeri gitu, atau nonton tayangan travelling edisi luar negeri. Nggak henti-hentinya saya kagum sama pemandangan dan nggak henti-hentinya juga saya ‘nggremeng’: “Aku pengen kesana” atau sekadar “kereenn” atau, “pengeeeen...” sambil memasang wajah melas menarik-narik lengan jaket Flo... hiks hiks... Selain itu, adanya dialog cerdas dan menggelitik tak urung membuat kami tertawa atau pun ‘jleb’ di hati. Dakwah lewat film tuh ya kayak gini nih, kereeen....

Selanjutnya, the troubles. Satu yang sangat saya sayangkan adalah, ketika Hanum, Fatma, dan Ayse pergi ke Bukit Kahlenberg. Saya masih ingat betul cerita di novel bahwa mereka bertiga ke sana ketika hari menjelang malam. Ketika saya menulis review novel ini dulu, saya sampai bela-belain nyari foto bukit Kahlenberg ketika malam karena di novel itu digambarkan keindahan lampu-lampu yang indah ketika malam hari yang dilihat dari bukit Kahlenberg. Sayangnya, di film ini diceritakan bahwa mereka bertiga pergi ke sana ketika siang. Bagus sih pemandangannya saat siang. Keren. Tapi, kayaknya bakalan keren lagi kalo malam hari deh...

Kemudian, di tengah-tengah cerita, muncul subtitle yang salah posisi. Maksudnya, subtitlenya muncul di saat yang tidak tepat, bukan di scene yang tepat. Nah, hal ini membuat saya sebagai penonton merasa bingung karena harus fokus pada gambar yang tidak relevan dengan subtitle atau ngotot baca subtitlenya karena takutnya nanti di saat scene yang harusnya ada subtitlenya ini malah subtitlenya nggak muncul. Bingung dengan kalimat saya? Ya gitu lah pokoknya.

Namun, yang paling nggak enak di hati adalah, sesaat setelah subtitle yang salah posisi itu, muncul pula subtitle berisi keterangan ‘Coming Soon’. Hey, wait, wait, wait... yang bener aja.. Nggak mungkin juga kan ada subtitle yang pake bahasa inggris nantinya... Saya pun langsung sadar, nih film bakalan ada part dua nya... Yang bener aja! Saya udah nunggu film ini lama, dan nggak ada pikiran sama sekali kalo harus nunggu kisahnya tamat di lain hari. Hey! Nggak ada pemberitahuan sama sekali pula di jejaring sosial. Setelah kejadian subtitle ‘Coming Soon’ itu, saya pun jadi mencak-mencak sendiri di bioskop. Haduh, nasib anak kos nih ya kayak gini. Udah nekat nyisakan uang buat nonton film ini, yang saya pikir bakalan dapat ‘ending’ saat itu juga, ternyata harus nabung lagi buat nontong yang part dua. Well, it’s so surprising ladies and gentlemen. Tak ada kabar mengenai tanggal penayangan yang part dua pula... Heuh...

Okay, enough! Overall, saya sukaaa bangeeet sama film ini. Kalau dipikir-pikir sih, emang bakalan lebih bagus kalau panjang, dijadikan dua part sih nggak papa. Tapi ya, kenapa nggak dikasih pemberitahuan sebelumnya? Sekali lagi, film ini keren! Can’t wait to watch the rest of the stories...

-Jadilah agen muslim yang baik!-

P.S.

*Mbak In dan Iva, kalau kamu duduk di sampingku waktu nonton film ini, kita bakalan ‘hurig’ sendiri nonton adegan ketika Hanum dan Rangga jalan-jalan berdua atau waktu sholat bareng... hoho
*Setelah nonton ini kami menyempatkan diri buat makan bareng... No need to say saya beli makan apa, kalian tahulah... ;) (nggak penting)
December 06, 2013 No comments
picture source : https://www.oncewed.com/wp-content/uploads/2009/06/garden-wedding-reception-decor.jpg

Aku memandang ke luar jendela. Banyak orang di luar sana memakai outfit yang rapi. Laki-laki dengan jas dan para wanita dengan gaun putih yang elegan. Senyum mengembang dan tawa berderai memenuhi halaman dengan berbagai hiasan. Bunga yang menempel di pagar, musik yang mengalun dengan syahdu, atau pun makanan yang tersaji di meja panjang itu sama sekali tak bisa mengalihkan pandanganku pada satu hal. Sesosok lelaki dengan jas hitam yang sangat pas dipakainya. Ia terlihat berbincang-bincang dengan seorang pemuda yang lebih tua. Membicarakan masa depan yang terkadang diselinginya dengan senyum yang membuatku lega.
Pertama kali aku bertemu dengannya di halaman ini juga, di sebuah pesta pernikahan saudara sepupuku tiga tahun yang lalu. Sama seperti yang dikenakannya hari ini, saat itu ia juga memakai jas, hanya saja dengan warna yang berbeda. Semenjak itulah kami lebih sering mengobrol.
Di halaman ini juga kami sering bertemu, mendiskusikan mimpi kami, tentang sekolah, cita-cita, pekerjaan, hingga pernikahan. Saat itu aku berpikir mungkin jodohku sudah dekat, mungkin. Ia adalah sosok yang paling nyaman untuk diajak ngobrol. Bercerita dengannya membuatku begitu lepas, tak ada beban, dan ia adalah pendengar –serta pemberi solusi yang sangat baik.
Aku selalu berharap bahwa dia lah yang akan memenuhi mimpiku. Mimpi sebagai seorang wanita. Mimpi sederhana yang menyempurnakan sebagian ibadah kami. Aku hanya berharap bahwa setiap kali aku membuka mata di pagi hari, yang kupandang hanyalah wajahnya, senyumnya yang begitu memikat. Senyum yang membuatku jatuh hati. Senyum menawan yang saat ini menghiasi wajahnya yang sangat berbahagia menyongsong pukul sepuluh pagi ini. Senyum yang akan lebih mengembang lagi ketika ia mengucapkan janji suci di hadapanku, di hadapan kami semua.
Aku hanya berharap, ia akan mengucapkan janji suci itu pada wanita yang tepat. Wanita yang saat ini sedang menuruni tangga dengan gaun pengantin panjang. Aku hanya berharap, wanita itu akan mendapatkan segala mimpi-mimpiku selama ini –mendapatkan kebahagiaan yang selalu aku dambakan hingga detik ini.
December 06, 2013 No comments
picture source : http://www.atjehtoday.com/media/articles/625.jpg
Setelah menamatkan dua novel dari Bang Ahmad Fuadi sebelumnya, Negeri 5 Menara dan Ranah 3 Warna, rasanya kurang afdhol jika tak menyelesaikan trilogi ini. Dan, well, jika kau sudah membaca keduanya pun kemungkinan besar sudah sangat penasaran dengan kelanjutan kisah Alif Fikri.

Setelah menyelesaikan studi di luar negeri dengan beasiswa yang didapatnya yang diceritakan di novel Ranah 3 Warna, Alif Fikri kemudian mulai melanjutkan hidupnya di tanah Indonesia tercinta. Alif kemudian menyelesaikan kuliahnya di Bandung dan bertekad mencari kerja.

Awalnya hidup Alif baik-baik saja mengingat ia sudah sering menulis di media massa dan mendapatkan honor yang cukup untuk hidupnya. Namun, setelah krisis moneter yang melanda Indonesia di zaman Soeharto, keadaan ekonomi Alif pun juga mulai goyah. Beberapa media massa yang seringkali memuat tulisannya mulai berkurang. Alif pun juga sempat mengalami anacaman debt collector setelah nekat mengambil uang dari kartu kredit dan belum bisa membayarnya.

Setelah berpuluh-puluh lamaran ia layangkan ke berbagai perusahaan, ia akhirnya mendapat pekerjaan sebagai seorang wartawan di majalah Derap, majalah yang pada saat itu berani mengungkap fakta tanpa tedeng aling-aling mengenai kondisi pemerintah Indonesia. Di sana lah ia kemudian berkenalan dengan Dhinara, seorang gadis yang juga berprofesi sebagai seorang wartawan baru.

Meski pun sudah merasa nyaman dengan pekerjaannya di Derap, namun Alif berpikir mengenai pekerjaannya itu. Mendapat tantangan dari Randai membuat semangat Alif untuk melanjutkan kuliah di luar ngeri lagi kembali muncul. Ia, dibantu dengan Dhinara, saling membantu untuk belajar Bahasa Inggris dan TOEFL. Alif akhirnya berhasil mendapatkan beasiswa ke luar negeri kembali. Namun sebelum ia pergi, ia dirisaukan oleh sikap Dhinara yang mulai menjauh darinya.

Daaaan....... bagaimana kelanjutan kisah Alif dan Dhinara selanjutnya?? Saya nggak mau spoiler di sini, jadi jika kalian tertarik untuk melanjutkan kisah mereka berdua yang jauh lebih menarik, segeralah berburu novel ini secepatnya yaa.... hehehehe :D

Jujur, saya mulai menyukai novel Bang Ahmad Fuadi setelah membaca novel yang kedua, Ranah 3 Warna. Dan sesuai harapan, novel ini memenuhi ekspektasi saya. Kereeen, dan sepertinya tambahan romansa cinta membuat para cewek yang membaca halaman 237-240 jadi melting deh kayaknya... so sweeett, guys, bener!!!


Semogaa.... saya bisa menulis novel yang keren seperti ini. Mengingat saya agak susah kalau disuruh menulis tentang kisah diri saya sendiri, sehingga novel ini benar-benar membuat saya kagum pada Bang Ahmad Fuadi yang dengan ceritanya tak membuat saya bosan membaca hingga akhir!
September 22, 2013 No comments
pic source : http://the-marketeers.com/wp-content/uploads/2012/10/bendera-indonesia.jpg
Kami masih duduk di tepi sungai ketika Bu Widya –satu-satunya guru di sekolah kami, berteriak nyaring memanggil murid-muridnya yang hanya berjumlah lima belas orang. Hari ini adalah hari istimewa, tepat tanggal 17 Agustus –aku baru saja menengoknya di kalender. Hebat bukan main, bukan, kemampuan membacaku. Aku masih duduk di kelas satu SD dan aku bangga akan hal itu.
Tak lama kemudian, kami sudah berbaris rapi menghadap tiang bambu yang berdiri kokoh di tengah halaman. Tiga orang yang berbadan lebih jangkung di antara kami berderap sigap membawa kain berwarna merah putih mendekati tiang itu.
Ketika sang pemimpin berkata dengan tegas, “Hormat, grak!”, kami mulai menyanyi dengan suara yang lantang.

Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku


Hingga kata ‘raya’ bait terakhir, kami belum juga menurunkan tangan. Mataku masih menatap bendera merah putih yang berkibar di pucuk tiang dengan gagahnya. Jikalau banyak orang yang mengeluh untuk berdiri seperti ini, kami malah berharap bisa lebih lama berdiri untuk mengenang para pahlawan yang telah mengorbankan nyawa demi bangsa ini. Ini adalah ucapan terima kasih kami untuk mereka yang telah memerdekakan Indonesia, yang tanahnya kupijak saat ini. Tanah surga di mana sekolah kami yang hampir roboh masih berdiri.
August 17, 2013 No comments

Ella adalah seorang gadis cantik dan pintar namun sedikit judes. Ia mempunyai sahabat bernama Maya yang lebih feminin. Sudah berteman dan sebangku sejak kelas satu SMA dan berlanjut hingga kelas tiga. Meski Ella adalah orang yang agak tertutup, namun Maya paham jikalau ia memang sedang tidak ingin curhat apabila ia ada masalah. Yah, meski pun sebenarnya Maya belum benar-benar paham akan karakter sahabatnya itu.

Ketika duduk di kelas tiga, menjelang ujian nasional, Ella mendapat cobaan. Papa dan mamanya hendak bercerai dan Ella benar-benar frustasi akan hal itu. Semakin lama Ella semakin tidak peduli pada sekolahnya. Ia bolos berhari-hari menjelang keputusan dan pasca perceraian kedua orang tuanya. Maya awalnya tak mengetahuinya karena Ella benar-benar menutup diri. Ella pun juga menghindar dari Maya. Namun setelah Maya mengetahui alasan Ella, Ella pun mendapat semangat lagi untuk bersekolah.

Di lain pihak, kehidupan Maya mulai mencerah. Setelah papanya meninggal, kini mamanya mulai mendapatkan sosok baru yang bisa mendampinginya. Awalnya Maya benar-benar senang akan kebahagiaan mamanya itu, meski pun mamanya masih merahasiakan identitas si pria yang telah mengambil hatinya. Mendengar kabar tentang kebahagiaan mama Maya, Ella pun turut bersuka cita atas sahabatnya itu.

Ketika waktu pertemuan Maya dengan calon papa barunya itu, Ella mengantarnya. Namun, di sinilah konflik mulai muncul lagi. Calon papa baru Maya tak lain tak bukan adalah Papa Ella sendiri. Mengetahui hal tersebut, Ella shock, begitu juga Maya. Semenjak itu masalah pun mulai bermunculan yang membuat jarak di antara dua sahabat itu mulai merenggang.

Awal cerita ini memang agak datar menurutku. Menceritakan masalah keluarga Ella dan nostalgianya dengan Mbok Iyem membuatku agak bosan. Hingga ketika diperkenalkannya tokoh Mama Maya yang seingatku muncul di separuh perjalanan membaca buku inilah yang membuatku tertarik. Dengan adegan tiba-tiba yang mengungkapkan bahwa Mama Maya sedang dekat dengan seorang pria, alur selanjutnya sudah tertebak olehku. Karena masih ragu, aku pun semakin tertarik dengan hipotesaku yang akhirnya terbukti. Hehe. Namun, setelah terbukti itulah yang semakin membuatku penasaran dengan ending ceritanya. Agak sulit menebak memang. Karena memang, ending cerita ini tidak sesuai dengan ekspektasiku yang aku harap akan happy ending dengan romansa cinta antara Ella dan Rama, si ketua kelas yang telah banyak membantu Ella dan Maya. Atau paling nggak kisah ini akan diakhiri secara happy mengenai keluarga Ella. Bukan itu juga. Karena setelah membaca sinopsis singkat di balik cover buku ini aku jadi paham bahwa ini adalah kisah tentang persahabatan antara Ella dan Maya. Karena, jujur, menurutku endingnya terlalu menggantung. Menurutku.

Penulis : Rhein Fathia
Penerbit : Bunyan
Cetakan : pertama, Juli 2013

Jumlah halaman : vi + 174 halaman
August 11, 2013 No comments

Totto-chan tak tahu bahwa dirinya dikeluarkan dari sekolah dasar ketika masih kelas satu SD. Ibunya hanya bilang bahwa ia akan pindah sekolah. Gurunya yang lama mengatakan bahwa Totto-chan anak yang nakal. Hal itulah yang membuatnya dikeluarkan dari sekolah.

Untungnya Ibu Totto-chan menemukan sekolah dasar yang pada akhirnya disukai –dicintai oleh Totto-chan, Sekolah Dasar Tomoe. Sekolah yang menjadikan bekas gerbong kereta sebagai kelas membuat Totto-chan benar-benar tertarik. Pertama kali ia masuk ke sekolah itu, ia bertemu dengan Kepala Sekolah Tomoe, Sosaku Kobayashi. Meskipun dengan gigi yang sudah ompong, Totto-chan tau bahwa Mr. Kobayashi adalah orang yang baik dan Totto-chan sangat nyaman berada di dekatnya, terlebih setelah mendengarkan Totto-chan bercerita padanya selama empat jam.

Di sekolahnya yang baru, Totto-chan mendapat banyak teman dengan berbagai karakter dan kondisi. Ada temannya yang cacat karena terkena polio, namun ia bisa bersahabat baik dengannya. Bahkan ia rela berbagi pohonnya secara rahasia. Selain itu, ia amat menikmati pelajaran di sekolahnya karena setiap murid bisa memilih pelajaran yang akan mereka kerjakan terlebih dahulu setiap pagi. Bebas, tergantung apa yang mereka suka. Totto-chan selalu semangat untuk berangkat pagi dan pulang lebih lama di Sekolah Dasar Tomoe, begitu juga teman-temannya.

Sama sekali tak menyangka bahwa ada sekolah seperti Tomoe. Awalnya saya mengira bahwa ini adalah sebuah novel, novel fiksi. Namun yang menarik, ini semua berdasarkan kisah nyata, nonfiksi, realistis, lebih jelasnya, benar-benar ada dan terjadi di masa lampau. Mengingat peristiwa yang terjadi adalah ketika masa perang Asia Pasifik, sepertinya mustahil membayangkan ada sebuah sekolah dengan gerbong kereta sebagai kelasnya, dengan hanya lima puluh siswa yang belajar di sekolah Tomoe, bisa memilih mata pelajaran yang disukai untuk dikerjakan lebih dahulu, dan ada berbagai kegiatan asyik yang berlangsung selama di Tomoe. Tapi ini adalah kisah nyata, kisah tentang Tetsuko Kuroyanagi yang dulu pernah dikeluarkan dari sebuah sekolah dasar ketika kelas satu SD karena dianggap nakal oleh gurunya kemudian bersekolah di Tomoe yang mengajarkannya banyak hal yang tidak didapatkannya apabila ia belajar di tempat lain.

Saya juga terkejut ketika membaca catatan akhir buku ini. Bahwa buku ini menjadi best seller dan membuat sejarah di dunia penerbitan Jepang serta menjadi buku wajib pendidikan. Saya sangat bersyukur bisa membaca buku ini. Melihat sistem pendidikan di Indonesia seperti ini, saya benar-benar iri pada Tetsuko Kuroyanagi yang dulu bersekolah di Tomoe. Pasti menyenangkan apabila saya bisa belajar dengan bebas seperti di Tomoe.


Setelah membaca buku ini, saya berharap ada sekolah yang seperti Tomoe di masa sekarang dan saya bisa melihatnya secara langsung. Saya juga berharap sistem pendidikan di Indonesia akan jauh lebih baik lagi di masa mendatang. Amiin. Terakhir, terima kasih kepada Neni Alya yang sudah meminjamkan buku ini *modus*. Strongly recommended!

Penulis                 : Tetsuko Kuroyanagi
Alih Bahasa         : Widya Kirana
Penerbit              : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan               : keempat belas, Mei 2013

August 11, 2013 2 comments

Beverly King dan Felix King akan menghabiskan satu musim mereka di Pulau Prince Edward, sebuah pulau di mana ayah mereka dilahirkan. Sebuah pulau yang selalu diceritakan oleh ayah mereka sehingga Bev dan Felix merasa sudah mengenal tempat itu dengan baik meski sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di sana. Di sanalah juga ia akan menghabiskan satu musimnya dengan sepupu-sepupu mereka, yang membuat hari-hari mereka berdua berwarna layaknya pelangi.


Penulis : Lucy Maud Montgomery
Penerjemah : Ambhita Dhyaningrum
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : Pertama, Maret 2010

Selain Felicity, Dan, dan Cecily, Bev dan Felix dibuat terkesima oleh Gadis Dongeng. Nama asli gadis Dongeng adalah Sara Stanley. Namun, karena ada dua Sara di sana, Sara Stanley dan Sara Ray, Akhirnya si gadis pertama diapnggil dengan sebutan Gadis Dongeng. Sebenarnya, hal itu lebih karena Sara Stanley adalah seorang gadis yang sangat mahir dan cerdas dalam bercerita, dan juga karena ia tak suka nama aslinya sendiri. Ketika Gadis Dongeng bercerita, semua orang akan berpindah tempat dan suasana, bergantung si Gadis Dongeng bercerita tentang apa. Gadis Dongeng juga ahli dalam memainkan peran yang diceritakannya. Ia bisa berubah menjadi seorang putri cantik nan anggun dan dalam suatu kesempatan yang lain ia bisa berubah menjadi wanita ular yang menjijikkan. Ya, sepandai itulah Gadis Dongeng dalam bercerita.

Mereka bertujuh, Felicity, Dan, Cecily, Felix, Bev, Gadis Dongeng, dan Sara berteman akrab dalam waktu yang singkat. Mereka melakukan berbagai pekerjaan dengan semangat, belajar bersama, bermain bersama, dan hal-hal menyenangkan lain selama berada di tanah keluarga King. Dengan adanya berbagai sifat yang berbeda di antara mereka, mereka menemukan makna sebuah persahabatan sejati.

Hal yang paling menarik ketika kau membaca buku ini adalah bagian berimajinasi. Berimajinasi bagaimana keadaan Pulau Prince Edward yang dikelilingi dengan kebun, pohon-pohon apel, padang rumput, jalan setapak, dan hutan-hutan. Bagaimana rasanya tinggal di sebuah pulau yang ketika kau memandang hanyalah padang hijau dan pepohonan yang rindang. Berlari dari sebuah rumah kuno yang besar menuju kebun melewati semak-semak dan bunga-bunga yang tumbuh secara liar. Just imagine that, you’ll feel it...

Meski di samping itu kau akan menemukan bagian yang religius, tentang Kristen Presbiterian dan Metodis –yang aku tak paham tentang bedanya, yah, anggap saja sebagai penambah ilmu pengetahuan. See?

That’s all, cause I can’t describe The Story Girl precisely, but I’m (almost) sure that you wanna meet her if you read it. Happy reading! :D

....

Tentang Penulis

Lucy Maud Montogomery lahir di Clifon, Pulau Prince Edward pada 1874. Sejak kecil, Lucy tinggal bersama kakeknya di Cavendish yang mendidiknya dengan keras. Pada 1890-an, Lucy mengajar di Bideford dan Lower Bedeque di Pulau Prince Edward.

Ia sudah menyukai menulis sejak kecil. Karya pertamanya, sebuah puisi, dimuat di surat kabar lokal. Ia semakin dikenal melalui seri Anne of Green Gables. The Story Girl dan sekuelnya, The Golden Road, dengan karakter tokoh-tokohnya yang periang dan bebas adalah kisah yang menginspirasi serial televisi “Road to Avonlea”. Dan, tidak banyak yang tahu bahwa inilah karya favorit Lucy Maud Montgomery.
August 05, 2013 No comments

Seperti biasa, dapet info novel ini dari temen sekelas. Seingatku sih, dia udah promosiin nih novel sebelum ‘jadi’ novel, pas masih ada di blognya Mbak Rein Fathia. Seperti biasa juga, dia ngompor-ngomporin aku buat baca, katanya tuh cerita bagus banget. Namun entah kenapa aku masih belum berminat buat baca.

Nah, setelah ‘jadi’ novel, gantian aku yang berminat buat beli. Karena sesuatu hal, saya pun mengurungkan niat buat beli, hehe, maklumlah namanya juga pelajar. Untungnya, temen saya yang lain akhirnya beli novel ini juga. Akhirnya, kesampaian juga buat baca, meskipun harus pinjem dan pake cara barter novel segala.

Ceritanya tentang Raka sama Aya. Sahabat yang bisa dibilang Best Friend Forever After, hehe. Ketidaksengajaan Aya yang harus satu kelompok dengan Raka ketika SMA membuat keduanya akrab, akrab banget. Kalo ada orang yang lihat, mungkin mereka bakal mengira Raka dan Aya adalah sepasang kekasih. Namun bagi mereka berdua, tak ada yang namanya cinta di antara mereka. Yah, ‘cinta’ sebagai sahabat mungkin.

Setelah lulus SMA, mereka berdua berpisah. Aya melanjutkan studi ke Jakarta sedangkan Raka ke Bandung. Meski terpisahkan oleh jarak dan waktu, dua sahabat ini masih  berusaha meluangkan waktu untuk sekedar ngobrol, curhat, atau hal-hal lain. Ketika mereka berdua sedang jatuh cinta pun tak sungkan buat ngobrol dan curhat tentang pasangan mereka masing-masing.

Singkat cerita, karena sesuatu hal, yang nggak bakal aku ceritain di sini, mereka akhirnya berpisah dengan pasangannya masing-masing. Tak lama setelah itu, setelah sama-sama bekerja, akhirnya Raka dan Aya pun kembali bisa bertemu karena tempat bekerja mereka nggak terlalu jauh. Mengetahui bahwa masing-masing sedang single, dan mengingat umur mereka yang sudah layak buat merangkai bahtera rumah tangga, Raka pun akhirnya memberanikan diri buat melamar Aya.  Setelah istikharah yang cukup panjang, Aya pun akhirnya menerima lamaran Raka. Mereka pun menikah.

Nah, cerita intinya baru dimulai ketika mereka berdua menikah. Perasaan Aya yang terlanjur hanya menganggap Raka menjadi sahabat sering membuat Aya tak percaya akan keputusan yang telah diambilnya. Masalah pun mulai menghampiri mereka berdua.

Aduh, kisahnya romantis banget deh, bener! Sayangnya, aku lupa di bagian mana romantisnya, nih (selain di bagian ending tentunya). Ini nih jadinya kalo ngereview buku ditunda-tunda mulu. Tapi salut deh buat Raka yang udah sabar banget ngehadepin Aya.


(Bahas apa lagi yah..??) Udah ya, segitu aja ngebahasnya. Ntar kalo selesai baca buku, aku usahain deh sesegera mungkin buat ngereview. Maaf yah, kalo kecewa. Tapi novel ini emang keren banget lho! Recommended!
July 21, 2013 No comments

Tentu saja aku tidak membeli novel ini hanya sekadar warna covernya ungu. Tidak. Aku bahkan baru sadar kalau warnanya ungu setelah aku membacanya. Alasannya adalah karena aku membaca begitu banyak mention yang ditujukan kepada penulis novel ini, Mas Moemoe Rizal, yang mengungkapkan bahwa novelnya bagus banget. Selain itu, salah satu temanya yang mengangkat tentang persaudaraan kakak dan adik semakin membuatku penasaran dan segera ingin membelinya. Sebagai salah satu referensi di masa mendatang, insyaAllah. Alhasil, aku menghadiahi diriku sendiri pada hari ulang tahunku kemarin dengan novel ini. Itu masih terlihat normal, bukan?

Kisahnya diawali dengan diperkenalkannya tokoh utama, Edvan, seorang arsitek yang baru saja berhasil membangun sebuah bangunan megah yang meberinya banyak honor di Singapura. Ketika malam perayaan atas kesuksesannya itu, ia mendapat kabar dari adik lelakinya, Edvin, bahwa Ibunya meninggal dunia. Edvan, yang sudah tak bertemu dengan ibunya selama sepuluh tahun akibat egonya di masa lalu, akhirnya pulang ke Indonesia, meski ketika sampai ia hanya bisa melihat jenazah ibunya di pemakaman.

Selang beberapa hari setelah pemakaman ibunya, Edvan bertemu dengan adiknya, Edvin, dalam ‘wujud’ yang benar-benar berbeda. Adiknya itu telah berubah nama menjadi Edvina, menjadi seorang lay dee boy (red: waria). Dengan penampilan yang benar-benar mirip perempuan, awalnya Edvan benar-benar tak percaya akan kenyataan itu, ditambah lagi dengan penampilan dan gaya Edvina yang mirip sekali dengan ibu mereka.

Setelah berbicara beberapa saat, Edvina mengungkapkan tujuannya untuk bertemu kakaknya itu, bahwa ia sedang menjalankan amanah ibu untuk memberi Edvan warisan, berupa jurnal. Edvan harus mengumpulkan seluruh jurnal yang ibu mereka buat dan sekarang tersebar di Bangkok, dengan petunjuk di setiap jurnal sesudahnya. Awalnya Edvan menganggap hal itu konyol, apalagi dengan keadaan adiknya sekarang ini, salah satu keadaan yang membuat Edvan pergi meninggalkan ibu dan adiknya, tak pernah mengabari dan pulang ke Indonesia.

Namun, akhirnya Edvan berangkat juga ke Bangkok, mencari harata karun yang dianggapnya impossible to find. Di Bangkok ia akhirnya bertemu dengan Charm, seorang guide yang membantunya mencari jurnal. Di sana ia juga bersahabat dengan Max, adik Charm, yang berhasil mengubah cara pandangnya. Di Bangkok juga ia menemukan berbagai kenangan, dan tentunya, yang akan kalian baca sendiri di buku ini.

Sebenarnya, ada cerita yang sudah bisa ditebak semenjak awal di buku ini. Di saat ketika Charm terus-terusan meminum multivitamin. Meski berhasil tertipu di bagian tengah, namun akhirnya dugaan saya benar. Seharusnya ada cara yang bisa dibuat agar situasi seperti ini tidak dapat dengan mudah ditebak oleh pemabaca.

Di sisi lain, saya suka sekali dengan tema persaudaraannya. Bahkan, saya harus pindah tempat ke kamar untuk bersiap-siap meneteskan air mata. Oh, benar-benar sangat menyentuh! Mas Moemoe berhasil membuat saya sedih dan membuat pandangan mataku kabur. Congrats! J

Selain itu, adegan setiap kali Edvan bersama Max juga berhasil membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Membuat saya harus menutup novel ini saat registrasi karena saya tak mau menjadi pusat perhatian, hehehe.

Let’s see bagian mana saja yang paling saya suka :

...
“I love Monyakul. He the best brother in the world.” Kanok memeluk Monyakul, yang sedikit pun tak keberatan. “He protect me from bad boys.”
“Why did he do that?”
“Because we family!” seru Kanok. “Family help Family. If bad boys naughty to me, Monyakul will shoo shoo away. If Monyakul is hungry, I will cook Moo Tad. It is favorite for Monyaku.”
Family help family. Kalimat yang simpel, tapi...
...

...
Aku pernah tanya sama Ibu, ‘Kenapa Ibu terus-menerus doain Kakak? Kakak mungkin nggak ingat Ibu sekarang.’ Ibu jawab, ‘Seorang Ibu nggak butuh anaknya inget kalau mau ngedoain. Yang Ibu harepin bukan kakakmu ingat sama Ibu, tetapi kakakmu tetap baik-baik aja.’ Tapi waktu itu aku masih kesal sama Kakak, jadi aku mendebat ibu. ‘Tapi, kan, Kakak mungkin udah nggak nganggap kita sebagai keluarga.’
‘Yang nganggap kita bukan keluarga, mungkin kakakmu. Ibu sih masih anggap kakakmu keluarga kita. Darah Ibu mengalir di tubuhnya. Nggak ada satu pengadilan mana pun yang bisa memutuskan hubungan darah antara ibu dan anak.’
‘Tapi Kakak bahkan nggak pernah nelepon kita pas dia lulus sarjana teknik arsitektur itu. Dia bahkan nggak mau noleh ke belakang pas kita ngumpet-ngumpet ngehadirin wisudanya.’
‘Inget ke poin utama, Edvin. Yang Ibu mau cuma kakakmu diberi kesehatan, kelancaran, dan kesuksesan, seperti yang dia pertaruhkan waktu ninggalin kita di sini. Titik. Mendoakan orang nggak boleh ada ‘tapi’-nya.’
...

Yeah, itu menurutku. Gimana menurut kalian? Tertarik untuk membaca??

Zuhrufi. Korp kun ka.

July 21, 2013 2 comments


Let me tell you, ini adalah kali kedua saya membaca Restart, setelah membaca novel ini dalam waktu yang singkat beberapa waktu yang lalu, dan menuliskan sedikit reviewnya di sini. Well, kenapa sampe ngulang dua kali? Itu tak lain karena saya masih belum nangkep ceritanya secara utuh. Dan setelah membaca ulang, wuih, saya baru sadar kalo novel karangan Mbak Nina Ardianti ini memang keren. Dan tetep, nggak bosenin. Karena udah pernah nulis sinopsis singkatnya, maka di sini saya pengen sedikit mengulas tentang alasan saya merekomendasikan novel ini.

Yang jelas, Mbak Nina tuh selalu berhasil membuat saya kagum sama tokoh-tokoh di novelnya. Kalo membaca Fly to the Sky saya suka banget sama Edyta dan Ilham, di novel Restart ini saya suka sama banyak orang. Saya heran, kok bisa sih Mbak Nina menciptakan karakter yang membuat tokohnya disukai para pembacanya. Salut deh!

Selanjutnya, yang membuat saya suka adalah dialog dan jalan pikiran para tokohnya. Seringkali gagal membuat saya berkali-kali menahan senyum dan tawa. Yang ada, cuma geleng-geleng kepala. Membaca cerita Syiana yang lepas, membuat saya mudah merasakan emosinya.

Ini salah satu dialog yang berhasil membuat saya tertawa :

...
Lalu terdengar suara siulan panjang diikuti dengan, “Harusnya gue panggil infotainment. Biar besok heboh, ‘Apakah. Yang. Membuat. Fedrian. Arsjad. Dan. Syiana. Alamsjah. Bertengkar? Apakah. Hubungan. Mereka. Di. Ujung. Tanduk?” nadanya terdengar sangat mirip Feni Rose
...

For your information, dialog di atas diutarakan oleh teman cowok sebelah kubikel Syiana, Aulia. Hehehe...

Namun, ada juga bagian yang membuat saya sebal sama Edyta. Yang bagian ini nih:

...
Aku menggodanya dengan wajah polos. Menganggap kata-katanya serius. “Eh. Sebenernya ide bagus tuh, Dyt. Gue malahan nggak pernah kepikiran. Wah, kalau tau lo sebenernya ngerestuin sih-“
Kata-kataku terputus oleh komentarnya, “DAN LO MAU LEBIH MILIH ABANG GUE DIBANDING FEDRIAN ARSJAD?” Ia mengucapkan itu seolah-olah aku ini gila atau apa.
...

Oh my God. Edyta. DAN LO TEGA BENER SIH SAMA ILHAM-ABANG LO SENDIRI! Huhuhu, saya jadi sedih nih, masak Ilham sampe digituin. (Well, biasalah, anggota PPI)

Next, kalo ada bagian yang saya nggak suka, pasti ada juga beberapa bagian yang saya sukai. Ketika Fedrian berkata pada Syiana di detik-detik sebelum mereka putus. Kalo aku jadi Syiana, aku udah melting.

...
“Kamu adalah perempuan pertama yang membuatku berpikir untuk kembali bekerja di korporasi-kalau perlu aku akan jadi banker lagi-hanya supaya aku bisa menjamin masa depan untuk kamu. I would give up everything I have, give up all of my dreams, and taking the responsibility to make you safe by making a safety net. Only for you. Karena aku yakin, you are the one.”
...

Sayangnya, Ian menutupnya dengan, “Tapi sekarang aku beryukur aku nggak melakukan itu”. Hah, langsung ilang deh melting-nya.

Terus, aku suka quote yang ini :

...
“Beberapa waktu lalu ada yang berkata kepada saya, relationship is a full time job. If you’re not ready, don’t apply. Apalagi sampai tanda tangan offering letter.”
...


Yeah, that’s all. Eits, tapi, sebelum saya menutup review ini, ada satu yang pengen saya sampaikan. Ini khusus buat Ian. Setelah mendengarkan lagu ini dua kali dan ngerti liriknya, saya langsung kepikiran Restart yang happy ending ini. Selain lagu ciptaan Ian tentunya, kayaknya lagu ini tepat deh dinyanyikan buat Syiana.

9

Every part in my heart I’m giving out
Every song in my lips I’m singing out
any fear in my soul I’m Letting go
And anyone who ask I’ll let them know

She’s the one she’s the one
I say it loud
She’s the one she’s the one
I say it proud

Ring the bell ring the bell
For the whole crowd
Ring the bell ring the bell

I’m telling the world
That I’ve found a girl
The one I can live for
The one who deserves

9


Tiao Cruz – Telling the World
July 15, 2013 3 comments

Ini adalah novel yang paaaaaliiing saya tunggu! Setelah berhasil mendapatkannya free, haha, lewat kuis yang diadakan oleh penulisnya, Mbak Nina Ardianti, plus tanda tangannya *pamer* -___- Tapiiii, yap, tapi, setelah novel ini sampe di rumah, saya pun harus bersabar buat membaca novel yang sudah saya tunggu dengan harap-harap cemas, yang setiap hari setelah saya memenangkan kuis itu saya selalu bertanya pada bude dan mbak saya : ‘novel buat saya udah datang belum?’, yang ketika saya udah datang saya tatap lekat-lekat novel itu, senyum-senyum sendiri, dan bertekad tak memperbolehkan siapa pun buat baca novel ini sebelum saya selesai membacanya. Lebay memang.
Memang novel itu datangnya kurang tepat, setelah saya gagal masuk PTN lewat jalur undangan, huhu. Tapi, nggak papa, ini namanya ujian, kan?? Jadi, saya pun mulai menghindar dari laptop, internet –termasuk twitter dan facebook, dan yang susah : saya harus mengubah genre buku saya, dari novel menjadi buku pelajaran. Hehe. Jadi, setelah saya selesai tes, saya pun ngebut baca novel itu. Itu juga salah, gara-gara saya ngebut mungkin, saya jadi tidak terlalu bisa menikmatinya. Jadi, dalam review kali ini mungkin hanya sedikit sinopsis dan... let’s see...
Namanya Syiana, sahabatnya Edyta, adalah cewek cantik yang, unfortunately, baru putus dari pacarnya, Yudha. Alasannya cukup buat Syiana terhenyak, dan saya juga, Yudha selingkuh. Semenjak putus, ternyata Syiana masih sering memikirkan Yudha. Harapan yang ia bangun bersama Yudha setelah tiga tahun pacaran mendadak runtuh, hancur berkeping-keping.
Di tengah-tengah penderitannya setelah bertemu Yudha secara tidak sengaja di Hongkong, Syiana mendapat masalah lagi. Ia tak sengaja bertemu seseorang –yang akhirnya dua orang, yang pertama mabuk ketika Syiana duduk di sampingnya, dan yang satunya lagi menuduh Syiana telah membawa temannya yang saat itu duduk di sampingnya –yang mabuk itu. *maaf bahasanya agak hancur*. Syiana yang memang sedang frustrasi itu akhirnya menyiram kedua orang itu dengan minuman yang tersisa di gelasnya. Malam itu adalah malam yang sial buat Syiana.
Sesampainya di Indonesia, Syiana sudah disibukkan dengan pekerjaannya. Projectnya sudah siap launching dalam beberapa waktu mendatang. Tapi, ia semakin pusing ketika atasannya meminta untuk mengganti icon yang bakalan mewakili projectnya itu dengan sebuah band yang lagi ngetop di Indonesia tapi Syiana sama sekali tidak tahu. Memang pekerjaannya membuat Syiana sedikit kuper soal musik Indonesia.
Singkat cerita, Syiana mendapat pertemuan yang tak sengaja dengan Fedrian, lelaki yang ia siram wajahnya ketika berada di bar di Hongkong. Fedrian juga membuat Syiana syok karena ia ternyata adalah salah satu anggota band Dejavu, icon yang bakalan dijadikan projectnya nanti. Pertemuan itu juga yang akhirnya membuat Syiana dekat dengan Fedrian, dengan cara yang unik tentunya. Sayangnya, ia masih susah move on dari Yudha.

Itulah mengapa cover novel ini : “All you have to do is move on”. Seperti biasa, saya selalu suka gaya berceritanya Mbak Nina. Setiap selesai membaca novelnya, selalu ada semangat baru buat nulis yang nggak garing. Dialog-dialongnya selalu ada saja yang membuat saya tertawa. Saya suka. Masalahnya, meski udah baca sampai selesai dalam waktu kurang dari dua belas jam kalo diakumulasikan, saya masih belum bisa move on dari Ilham. Likely, saya harus baca novel ini mulai dari awal lagi deh, dan saya bakal buat review yang kedua. Eh, satu hal penting yang bisa saya dapet dari novel ini, adalah bagaimana manner kita dalam bersahabat. Banyak banget hal yang dapet kita pelajari dari hubungan Syiana dan Edyta di sini. Semoga, saya bakalan punya sahabat kayak mereka kalo kuliah nanti, ya! Amiin :D
July 02, 2013 No comments


Penulis : Orizuka
Editor : Gita Romadhona
Penerbit : GagasMedia
Cetakan : Kedua, 2013

Jadi, ini adalah kedua kalinya saya membaca novel karya Orizuka, setelah yang pertama saya baca : Infinitely Yours. Penasaran banget buat baca novel ini setelah teman saya, Alfy, ngompor-ngomporin saya buat baca novel ini berbulan-bulan yang lalu, atau beberapa tahun yang lalu. Keberadaan kelas kami yang tidak berubah membuat memori saya sulit mengingat kapan ia berkata begitu.
Dulu, sewaktu penasaran saya langsung membuka google dan mengetik judul novel ini. Covernya dulu masih berwarna ijo. Jadi, sewaktu kemarin saya merelakan novel ini buat dipinjem Neni dulu, saya baru tersadar kalo itu adalah novel Orizuka yang ganti cover, yang pengen sekali saya baca. Finally, saya pun rela meminjamkan Alfy buku baru saya, buku yang belum saya buka, yang baru saya buka segelnya ketika dalam perjalanan menemuinya. Yah, toh nanti juga bakalan saya baca buku baru saya itu, sama saja. Semenjak kehilangan hape, entah kenapa saya jadi ikhlas buat minjemin, memberi, sedekah, whatever yang bisa saya lakukan, selama itu baik buat saya. Enough!
Novel ini mengisahkan Yogas yang sedang dalam perjalanan mencari (dulu) sahabatnya, Joe, ke Yogya. Bukan untuk reuni, kangen, atau hal melankolis lainnya, tapi balas dendam. Dia bersikeras untuk menemukan Joe apa pun yang terjadi meski ia tak tahu persis di mana Joe tinggal. Dengan uang yang tak banyak, Yogas akhirnya menemukan sebuah kost sangat sederhana yang hampir roboh. Ia tak punya pilihan lain mengingat uangnya yang terbatas dan tujuannya hanyalah untuk bertemu Joe.
Namun, takdir berkata lain. Di kost itu ia bertemu dengan Kana, seorang cewek cerewet yang tinggal persis di sebelah kamarnya. Yogas cuek saja terhdap Kana, namun sikap Kana yang bersahabat membuat Yogas nyaman dengan dia. Menyadari bahwa Yogas telah salah mengambil sikap –Yogas tak ingin siapa pun peduli dengannya- terhadap Kana, ia pun mulai menjauh. Sayangnya, setelah cukup lama berinteraksi dengan Yogas, Kana jatuh cinta padanya.
Sikap Yogas yang aneh, yang kadang baik, kadang marah, membuat Kana bingung. Perlahan-lahan ia pun mengetahui rahasia Yogas yang disembunyikannya itu. Kana tahu betul bahwa Yogas positif HIV, dan Kana juga tahu maksud kedatangannya ke Yogya. Meski Yogas menghindar, Kana tetap saja mendekatinya. Kana ingin menemaninya, tidak seperti sikap orang lain yang menghindar, Kana tetap meyakinkan Yogas atas janjinya. Karena Kana tahu, ia telah jatuh hati pada Yogas, dan tak ingin menyesal nantinya.

Wah, emang nih novel bagus. Nggak sia-sia Alfy recommend ini buat aku. Haha. Alur yang baik berhasil membuat saya penasaran atas rahasia Yogas yang hendak disampaikan Orizuka pada pembaca hingga akhir. Endingnya juga bagus,membuat saya berpikir, “bakalan ketemu Yogas nggak nih si Kana??”. Satu hal yang saya kagumi, Orizuka berhasil membuat dialog-dialognya nggak terkesan garing, dan yang terpenting, dialognya Yogas tuh nggak cewek –karena, kan, yang nulis cewek. So, kalo ada pengajuan novel yang bagus buat tema HIV, novel ini bisa menjadi salah satunya  lho(berhubung saya baru baca novel ini aja yang berhubungan dengan HIV, hehe)! :D
July 02, 2013 1 comments


Apa sih yang salah sama gue? Udah cakep, kan? Celana panjang, keren. Sweater, oke. Make up, manis. Tapi kemana sih Ilham? Udah pukul setengah sembilan malam dan gue masih imut duduk sendirian di depan Simpang Lima Gumul. Itu, bangunan keren yang mirip Arc de Triomphe du I’Etoile di Paris itu! Eh, itu Ilham!
Ilham, temen SMP gue, yang sekarang ternyata tambah charming karena udah nggak ketemu semenjak beberapa bulan yang lalu. Kangen banget sama dia. Karena gue harus pindah ke Surabaya, mau nggak mau harus tetep keep in touch sama dia lewat twitter dan beberapa socmed lainnya. Nah, kali ini Ilham mau ngajak gue ke suatu tempat, entah kemana. Mau diculik kali gue sama dia. Mau banget kali!
Ilham melambaikan tangannya. Gue hanya tersenyum sambil terus berdoa semoga Ilham nggak tau kalo gue, gugup. Untungnya akal gue masih berfungsi. Segera kuraih lengannya, menariknya buat jalan-jalan mengelilingi monumen cantik ini. Gue cerca Ilham dengan berbagai pertanyaan: kenapa dia telat, gimana kerjaannya, gimana hidupnya, yah, whatever yang keluar dari mulut gue tentang hidup Ilham saat ini. Setengah jam kemudian kita pergi karena harus lanjutin perjalanan yang ternyata, ke... Bromo???
Unfortunately, gue hanya tidur di mobil sepanjang perjalanan. Huh, gue melewatkan momen penting buat ngobrol sama Ilham malem ini. Pukul 03.30 am kita sampai. Entah di mana itu, yang jelas Ilham ngajak gue yang masih terkantuk-kantuk buat naik jeep. Jalannya yang nggak mulus membuat gue nggak bisa tidur dan nggak bisa tenang. Sekitar sejam kemudian kita sampai di Pananjakan. Ilham ngajak gue buat sholat shubuh dulu. Ya ampun, rasanya tuh keren banget kita berdua sholat di daerah Bromo yang dinginnya minta ampun sampai gue harus pake baju tebel berlapis-lapis dan Ilham hanya tertawa.
Habis sholat subuh, gue dikejutkan lagi sama Ilham. Ya Tuhan! Iham duduk tepat di samping gue ketika gue melongo memandang matahari terbit dari balik gunung entah apa itu namanya. Sumpah, Ham! Lo keren banget sih!
Setelah puas menunjukkan kehebatannya tentang surprise-nya itu, Ilham ngajak gue masuk jeep lagi buat turun ke bawah. Kita ngelewatin hamparan pasir yang luas, yang kayak di film Pasir Berbisik itu lho! Beberapa menit kemudian kita turun dan Ilham berubah jadi Teletubbies, hehe. Nggaklah, ia bilang bukit-bukit itu namanya bukit Teletubbies, soalnya mirip banget kayak yang di film boneka gede yang warna-warni itu. Gue puas difoto terus sama Ilham di bukit hijau ini.
Setelah agak siang, Ilham ngajak cabut lagi. Kali ini Ilham nantang gue buat naik lihat kawahnya. Baru berjalan beberapa ratus meter aja gue udah capek, tapi Ilham nyemangatin terus. Gara-gara itu semangat gue muncul lagi. Setelah mendaki 145 anak tangga -itu itungan gue- akhirnya gue berhasil juga menyelesaikan tantangan cowok ini. Ilham ngulurin tangannya ke gue, nolongin buat naik satu pijakan lagi. Di atas sana gue lihat pemandangan yang kerennya nggak abis-abis. Kita berdua ngobrol panjaaangg banget. Seru banget deh kalo di deketnya Ilham.
Siangnya kita habisin buat di perjalanan sama mampir di salah satu kedai makanan. Ilham memang top banget soal traveling. Kita terusin perjalanan pulang sambil debat seru sambil dengerin musik kesukaan kita dulu.
Sorenya kita sampai di Alun-alun Batu. Ilham ngajak gue sholat dulu trus naik bianglala yang lebih gede dari yang di pasar malem. Senengnya, kita cuma berdua naik itu sambil ngobrolin ramenya Kota Batu kalo malem.
Kita menutup perjalanan ini dengan makan malam di kedai yang terletak di sepanjang jalan di pinggir tebing. Tepat dari meja tempat kita duduk , gue dan Ilham bisa memandang cahaya kota Malang yang kalo malem indah banget. Emang cahaya lampunya masih lebih indah di Paris, tapi Ilham berhasil menggantinya malam ini. Ilham, makasih ya!


Asal-usul penulisan klik di sini
May 19, 2013 3 comments

Pacaran itu kayak mampir, nikah itu bagai perhentian. Mau jadi tempat mampir atau rumah perhatian?

Pacaran itu Cuma mainan, nikah itu tanda serius. Mau dimainin atau diseriusin?

Nah, loh.... yang masih pacaran?? Hayo yang lagi pedekate?? Atau...yang hari ini baru jadian..???
Heum... Udah, putusin aja!!!

Kenapa harus diputusin? Pacaran itu kan ibaratnya kayak ta’aruf! Hadeh, ntar kalo saya jawab di sini, bukunya nggak jadi dibaca lagi. Lagi pula nggak seru kalo saya yang ceramah di sini.

Buku terbitan Mizan ini emang cocok buat teman-teman yang sekarang lagi pacaran. Tapi, setelah saya baca sampai habis, lebih cocok buat yang udah pacaran sejak zaman purbakala. Eh, lebay. Maksudnya buat yang sekarang lagi pacaran dan pacarannya itu udah cukup lama, sekitar satu, dua, tiga, atau bertahun-tahun. Cocok banget untuk memperjelas status yang masih “pacaran” tersebut.

Pacaran memang tak selamanya berujung pada zina, namun semua zina berawal dari pacaran. Terkadang kita berpikir kalimat tersebut terlalu lebay. Saya sendiri melihat fakta, meski tak sepenuhnya tahu, bahwa ketika teman-teman saya ada yang berpacaran pun juga biasa saja. Mungkin hanya sms-an, telpon-telponan, makan bareng, nonton bareng. Nah, kegiatan bareng yang selanjutnya itu yang perlu dipertanyakan.

Nggak sih, sebenernya saya memang melihat hal yang biasa aja. Itu hanya sebatas yang saya tahu lho! Nah, maka dari itu, jangan sok tahu. Karena bagaimana pun semua zina berawal dari pacaran. Seperti postingan saya sebelumnya –artikel saya malahan, saya sendiri yang buat- bahwa dulu saya berpikir pacaran itu punya sisi positif dan negatif. Jadi, saya sih masih fine-fine aja. Kalau pun ada teman saya yang bicara soal pacarnya, saya malah masih sering bercandain dia, godain dia. Saya masih belum berani tegur dia. Kenapa? Karena saya masih sebatas tahu, dia baik-baik saja. Sebatas tahu saja. Kan, nggak enak juga, malah takutnya hubungan saya dan dia jadi renggang atau gimana gitu.

Nah, dari sinilah sebenarnya kita harus koreksi diri. Bicara secara langsung namun dengan baik-baik sebenernya lebih baik, namun masih ada juga cara lain yang bisa kita lakukan untuk menasihati, atau membantu teman kita agar tidak terjerumus ke lubang yang paling dalam, tersesat, dan tak tahu arah jalan pulang. Huhuhu...

Jadi, saya hanya bisa berpesan melalui tulisan saya di blog ini : Udah, Putusin Aja! Karena saya masih belum berani untuk bicara terus terang. Semoga saya bisa menjaga komitmen saya ini. Semoga teman-teman juga bisa menjaga komitmen teman-teman, semoga kalian yang sedang pacaran segera memutuskan pacar kalian! Hehehe... Beneran, karena saya masih labil, saya juga berdoa dan tolong doakan juga, semoga saya bisa menjaga komitmen ini dengan baik. Amiinn!!

Wassalamu’alaikum!
May 10, 2013 No comments

Yak, sedikit review dan sedikit curhat –lhoh, tentang 9 Summers 10 Autumns. So, here we go.

Firstly, I am going to tell you a little secret of mine. Sedikit lebay sebenernya, tapi nggak papa juga, kan? Hehe. Bahwasanya menonton film di bioskop adalah salah satu keinginan yang saya pendam semenjak kecil. Maklum, saya tinggal di desa, meskipun sejak kecil saya sering diajak jalan-jalan ke kota, tapi yang namanya “ngintip” aja belum pernah. Padahal waktu itu saya udah di depan tangga lho!

Nah, kesempatan pun muncul ketika saya bersekolah di Kota Kediri. Jarak asrama saya ke gedung bioskop ini aja sebenernya juga nggak jauh-jauh amat. Jalan kaki aja bisa ditempuh dalam waktu sekitar 10-15 menit. Sayangnya, kami dilarang nonton bioskop. Tapi dalam hati saya bertekad, “Udah hampir tiga tahun tinggal di Kota Kediri, pokoknya sebelum saya pindah untuk melanjutkan studi, saya harus nonton salah satu film keren di sini!” And finally, setelah hanya bisa melirik berpuluh-puluh kali ke papan jadwal pemutaran film yang saya lewati hampir setiap hari pergi les, I got it! Yeayyy! –Don’t say I am a kind of lebay, please!

Jadi, saya akhirnya bisa menonton film yang paling saya tunggu kehadirannya di Golden Theatre Kediri ini, setelah beberapa hari menunggu datangnya film yang terlambat datang sambil hanya bisa memasang wajah iri dan hati yang sebal pada beratus-ratus tweet orang-orang yang dengan bangga dan senangnya udah nonton film ini. Huh!

9 Summers 10 Autumns, mengisahkan kehidupan penuh perjuangan Iwan Setyawan dan  manisnya buah perjuangan itu sendiri. Kisahnya diawali dengan Iwan Setyawan, atau lebih dikenal dengan Bayek, ketika masih baru berada di New York. Bayek memulai cerita masa lalunya ketika ketakutannya muncul akibat dirampok saat berada di dalam kereta. Pada saat itu, muncullah seorang anak kecil berseragam merah putih, yang tak lain adalah refleksi dari masa lalunya.

Bayek dilahirkan di Batu, di sebuah rumah sederhana oleh seorang ‘Ibuk’ yang sangat menyayanginya. Memiliki empat saudara perempuan, dan sebagai satu-satunya anak laki-laki di keluarganya membuat Bayek menjadi harapan besar bagi bapaknya. Bapaknya yang seorang sopir angkot berharap anak lanangnya itu bisa membantunya mencari nafkah, menjadi seorang laki-laki yang ‘sebenarnya’.

Sejak kecil Bayek pintar, ia sering menjadi juara kelas. Namun ternyata prestasinya itu tak membuat bapaknya cukup bangga. Ketika lulus SMA, Bayek melalui jalur PMDK (jalur masuk PTN tanpa tes) berhasil masuk IPB. Ia tahu bahwa kuliah di IPB, yang letaknya di provinsi Jawa Barat itu, bukanlah suatu perkara yang mudah bagi keluarganya, terutama bapaknya. Bapaknya bersikeras agar Bayek tetap tinggal di rumah, membantu ayahnya mencari nafkah. Namun, Bayek tetap bersikeras. Semua saudara dan ibuknya mendukungnya, meski ia tahu biaya hidup dan kuliah di sana tak cukup hanya berbekal beras saja.

Mengetahui kemantapan hati Bayek, hati bapaknya pun luluh. Ia kemudian mengajak Bayek mengendarai angkotnya yang telah berpuluh-puluh tahun menemaninya mencari nafkah. Bapaknya menjual angkot itu hanya untuk Bayek, untuk masa depan Bayek. Sejak itulah Bayek tahu bahwa ia tak boleh main-main saja, ia harus bisa membuat bapaknya bangga dan tak menyesal telah menjual angkot kesayangannya itu. Semenjak itulah perjuangan Bayek dimulai.

Sebuah kisah yang sangat menarik. Meskipun diangkat dari sebuah novel yang berjudul sama, namun film ini tak kalah seru dengan novelnya. Banyak orang yang kecewa dengan film-film yang diaptasi dari novel. Namun, menurut saya film ini lebih hidup. Dengan setting serta dialog dan prolog yang memukau, film ini menjadi lebih menarik.

Akting para aktornya pun tak kalah keren. Ihsan Tarore sebagai Bayek, Alex Komang sebagai Bapak, dan Dewi Irawan sebagai Ibuk, sukses menjadikan film ini lebih natural. Dialog dengan bahasa Jawa khas Malang serta beberapa adegan yang lucu berhasil membuat saya dan teman-teman terpukau dan tertawa. Kisah perjuangan ketika kuliah di IPB juga berhasil membuat saya buru-buru pengen kuliah. “Karena bahagia yang diwujudkan dengan perjuangan akan lebih memberi makna.”

Overall, I like this movie! “It doesn’t matter where I came from, as long as I know where I’m going." 


May 06, 2013 2 comments

Karena Vanila Berwarna Putih

“Kenapa kamu suka vanila?” Ilham menoleh padaku.
“Karena vanila warnanya putih.” Aku masih akan menjawabnya dengan kata dan intonasi yang sama seperti itu, tak kurang dan lebih selama Ilham bertanya padaku.
Ilham adalah temanku semenjak kelas satu SMA. Bertahan selama tiga tahun berada di kelas yang sama dan –oh, tidak! Kami berada di satu tempat yang sama di kampus ini dan aku harus bertahan selama empat tahun mendatang. Lagi.
“Kenapa kamu suka vanila?” adalah pertanyaan wajib yang akan dilontarkan Ilham padaku setiap kali kami membeli es krim, kapanpun itu.
Entah kenapa juga, aku tak pernah bosan menjawabnya dengan jawaban yang sama. Aku bersyukur karena Ilham sama sekali tidak pernah mengeluh.
Malam ini ia mengajakku, lebih tepatnya membantu mengerjakan tugas kuliah. Dengan iming-iming semangkok besar es krim vanila, aku pun menyanggupinya.

8.00 pm.
Sebuah mangkok besar dan beberapa buku tebal memenuhi salah satu meja di sudut kafe ini. Sekali lagi Ilham bertanya padaku, “Kenapa kau suka vanila?”
“Karena warnanya putih.”
“Seputih cintamu padaku?”
Aku diam. Ilham diam. Wajah Ilham serius.
Beberapa detik berlalu.
“Kena kau!” Ilham sontak tertawa terpingkal-pingkal.
“Kena juga kau! Aku hafal candamu!” Aku tertawa renyah, berharap Ilham tak tahu bahwa hatiku menjawab pertanyaannya. Iya.

#CerminBentang Minggu 4. Tema : Vanila
Ditulis oleh : @azzuhruf_ifa

P.S. FYI, ini adalah cerita mini 200 kata yang saya buat intuk mengikuti lomba cerita mini (cermin) yang diadakan oleh Bentang Pustaka. Alhamdulillah juga berhasil menjadi Cermin of The Month untuk bulan April 2013. Terimakasih buat semua yang udah vote dan yang udah mendoakan plus mendukung saya. Thank you so much! :D

link : http://pustakabentang.blogspot.com/2013/04/cermin-of-month-april-2013.html

untuk ulasan lengkapnya, kunjungi : http://pustakabentang.blogspot.com/2013/05/cermin-of-month-april-2013-2.html

ehm, Jadi barusan coba klik link itu dan ternyata udah nggak bisa hoho. Ya sudahlah. Jadiin kenangan saja. xoxo
May 01, 2013 6 comments


Sebuah novel yang dikarang oleh Isti Anindya. Dengan nama pena Biaz, ia berhasil meluncurkan novel perdananya ini pada tahun 2008. Saya sendiri tertarik membeli buku ini ketika ada bazar buku beberapa bulan yang lalu. Jujur, awalnya saya tertarik dengan covernya. Warna covernya yang gradasi antara jingga dan hitam, serta siluet bayangan seorang wanita berjilbab otomatis membuat saya berpikir ini pasti buku islami. So, let’s get it one for me!

Ini adalah kisah tentang kehidupan Velia, seorang jilbaber sejati, mulai dari  masa sekolah hingga masa akhir hidupnya-meski nggak sepenuhnya begitu, hehe. Dikisahkan bahwa Velia adalah seorang cewek cantik yang sangat dicintai banyak orang. Sahabat-sahabatnya kebanyakan cowok. Meskipun disukai oleh banyak cowok, ia hanya setia menyimpan hatinya untuk satu orang, Kahfi. Ia diam-diam menyukai Kahfi, namun ternyata secara diam-diam Kahfi juga menyukainya. Ketika mengetahui hal tersebut, Velia yakin bahwa dirinya memang untuk Kahfi. Akhirnya, setelah lulus SMA hingga melanjutkan ke jenjang kuliah, ia tetap menyimpan hatinya untuk Kahfi meskipun Kahfi berada jauh darinya. Velia yakin bahwa Kahfi memang menunggunya.

Ketika akhir kuliah, Velia akhirnya bisa berhubungan dengan Kahfi lewat sms. Setelah satu bulan saling sms, Velia semakin memantapkan hatinya untuk Kahfi. Namun, ketika ia pulang ke rumah, sahabatnya Vemas melamarnya. Velia menganggap  Vemas sebagai abangnya sendiri. Ia kemudian berterus terang pada ibunya bahwa dirinya sedang menanti Kahfi. Ibunya sendiri akhirnya menyerahkan sebuah undangan pernikahan kepada Velia, undangan pernikahan antara Kahfi dan Zahra, sahabatnya ketika SMA. Mengetahui hal tersebut, Velia jatuh pingsan dan akhirnya koma selama satu tahun. Selama satu tahun itu juga Vemas setia menemaninya, mendoakannya, menunggunya. Setelah sadar, Velia akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Vemas.

Namun, takdir berkata lain. Satu minggu sebelum pernikahan Velia dengan Vemas, Velia mengetahui bahwa Kahfi tidak jadi menikah dengan Zahra. Hal tersebut membuat Velia galau setengah mati. Velia tahu cintanya tidak bisa berlabuh ke lain hati selain Kahfi seorang. Beberapa hari menjelang pernikahannya dengan Vemas, Velia mendapat cobaan lagi. Kesuciannya direnggut oleh seorang lelaki yang sedang mabuk. Velia benar-benar hancur. Ia akhirnya memutuskan membatalkan pernikahannya dengan Vemas. Nah, mulai dari bab inilah kisah hidup Velia dimulai. Mulai dari bab ini juga kisah dalam novel ini semakin menarik untuk dibaca.

Pertama kali membaca novel ini, saya sangat bingung. Dialognya banyak, tokohnya tidak jelas. Namun, kalau sudah sampai cerita di atas tadi, kita mungkin sudah paham bagaimana alur ceritanya. Jujur saja, cerita di novel ini seperti sinetron. Agak mustahil untuk dicerna di kehidupan nyata. Banyak setting yang tidak jelas kapan kejadian waktunya. Selain itu, ketika terjadi flashback, kita akan bingung, karena tidak ada pertanda yang jelas. Ejaannya pun juga masih banyak yang salah, entah karena masih cetakan pertama atau bagaimana saya kurang paham. Satu lagi, ketika Velia berbicara masalah kedokteran, banyak sekali penjelasan yang diungkapkan. Saya sebagai pembaca novel ini merasa terganggu karena tidak paham masalah seperti itu, saya menjadi bosan, meskipun hal ini bisa menambah wawasan ilmu kita.

Di luar kekurangan novel ini, saya suka jalan ceritanya. Namun, akan lebih baik apabila ada revisi lagi. So, siapa yang pingin tahu bagaimana lanjutan kisah di atas?? Dengan siapa Velia akan menempuh hidupnya? Akankah cintanya pada Kahfi berlabuh di pelaminan? Lalu, bagaimana dengan Vemas, sahabat yang mencintainya dengan segala ketulusan hati?

#Eh, ada satu lagi yang lupa, itu Velia kok bisa punya enam anak, yang tiga terakhir itu lho....? Ada yang tau??
April 27, 2013 No comments
Newer Posts
Older Posts

About me

About Me


A student who loves collecting books, writing occasionally, and enjoy taking some photographs.

Follow Us

Labels

Cerita Teladan cerpen continual flashfiction coretan tanganku encyclopedia flashfiction Justifying the Feeling movie review my handwriting nice story Out of the Blue Resensi Buku resensi novel review film sinopsis buku

recent posts

Blog Archive

  • ►  2016 (1)
    • ►  February (1)
  • ►  2014 (7)
    • ►  September (2)
    • ►  July (2)
    • ►  June (2)
    • ►  May (1)
  • ▼  2013 (25)
    • ▼  December (2)
      • Review Film : 99 Cahaya di Langit Eropa
      • Flash Fiction : A Wish
    • ►  September (1)
      • Review Novel : Rantau 1 Muara
    • ►  August (4)
      • Flashfiction : 17 Agustus
      • Review Novel : Jalan Menuju Cinta-Mu
      • Review Buku : Totto-chan Gadis Cilik di Jendela
      • Review Novel : The Story Girl
    • ►  July (5)
      • Review Novel : Coupl(ov)e
      • Review Novel : Bangkok the Journal
      • Review Novel : Restart (II)
      • Review Novel : Restart (I)
      • Review Novel : The Truth About Forever
    • ►  May (4)
      • Bromo, Ilham, dan Gue
      • Review Buku : Udah Putusin Aja!
      • Review Film : 9 Summers 10 Autumns
      • Flashfiction : Karena Vanila Berwarna Putih
    • ►  April (1)
      • Review Novel : Bias Nuansa Jingga
    • ►  February (3)
    • ►  January (5)
  • ►  2012 (16)
    • ►  December (2)
    • ►  November (1)
    • ►  October (1)
    • ►  August (1)
    • ►  July (1)
    • ►  May (2)
    • ►  April (2)
    • ►  March (2)
    • ►  February (2)
    • ►  January (2)
  • ►  2011 (3)
    • ►  June (1)
    • ►  March (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2010 (3)
    • ►  April (3)
FOLLOW ME @INSTAGRAM

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates